Powered By Blogger

Sabtu, 24 April 2010

Mana Lebih Dulu, Telur atau Ayam?

Mana Lebih Dulu, Telur atau Ayam?


Asap rokok putih terasa memenuhi ruangan berpendingin berukuran sekitar 4 meter x 4 meter itu. Lima perempuan muda dan dua laki-laki muda sedang bersantai di atas kasur busa tipis berlapis kulit sintetis berwarna hitam yang dihamparkan di lantai. Para perempuan itu sibuk dengan telepon seluler dan Blackberry.

Mereka mengenakan seragam celana pendek berwarna biru laut, terkesan seperti rok bawah yang menutup hanya kira-kira 10 sentimeter bagian paha atas. Blus kaus ketat menutup tubuh bagian atas, tak berlengan. Kalau ada panggilan, mereka menggantinya dengan blus berwarna senada, berlengan pendek.

Para perempuan itu—rata-rata berpendidikan setara sekolah menengah pertama—adalah ”terapis” suatu spa, metamorfosa panti pijat kelas menengah atas, yang juga menyediakan jasa refleksi oleh petugas laki-laki berseragam biru tua seperti satpam.

”Tugas kami memijat,” ujar Windy (30). Dora (24) menambahi, ”Kami berbeda dengan yang ’lokal’,” menunjuk gambar di TV sirkuit lokal. ”Kalau ’lokal’ satu paket, cuma ngeseks saja.”

Para ”terapis” itu mengaku bisa memilih jenis pelayanan seks yang dikehendaki. Bisa hanya tangan atau oral. Biaya pelayanannya berbeda-beda.

Mereka berbekal kondom dan mengaku bisa memaksa klien memakai kondom. ”Kalau menolak, saya bilang, apa tidak takut bawa penyakit ke rumah. Saya kan melakukannya dengan banyak orang,” ujar ibu dua anak yang sudah empat tahun bekerja di situ, ”Kalau masih tidak mau, saya akan pakai cara apa saja, pokoknya terpasang.”

Jaringan sosial

Keterangan itu tak bisa diterima begitu saja. ”Angka infeksi menular seksual di tempat-tempat seperti itu tinggi,” kata Aulia, petugas penyuluhan dari Yayasan Kusuma Buana, menyebut angka IMS 43 persen dari data survei kesehatan di DKI.

Penyuluhan adalah bagian dari upaya pemberdayaan. Selain soal teknis, seperti pengobatan tiga bulan sekali untuk pencegahan IMS, ia membawa gambar peraga untuk terus menjelaskan soal IMS dan HIV beserta seluruh penyakit menyangkut kesehatan reproduksi yang diakibatkannya dan berimbas sampai usia lanjut. Ia juga mengajari mereka mengenali alat reproduksi, termasuk mengenali kelamin, memakai cermin.

Aulia juga membawa kondom untuk dibagikan, mengajari berbagai cara memakainya, kepada pelanggan. Namun, semua itu tak bisa diandaikan. Seperti dikatakan Windy, ”Kalau sama pacar, ya enggak pakai kondom. Kadang takut juga, dia kan bisa ke mana-mana, tetapi bagaimana lagi?”

Inilah yang dikhawatirkan Dr Rosalia Sciortino, antropolog medis Bank Dunia untuk masalah kesehatan reproduksi. ”Dalam soal kesehatan reproduksi, perhatian hanya pada kelompok rentan, khususnya perempuan, dan tidak pelanggannya juga, akan mengabaikan persoalan lebih besar terkait jaringan sosial dan jaringan seks.”

Percakapan dengan Windy sebenarnya menunjukkan, dia dan pekerjaannya hanya bagian dari jaringan besar itu. Hal inilah yang membuat sulit dipisahkannya hubungan seks ”aman” dengan pasangan tetap di rumah, dengan hubungan seks yang dianggap ”tidak aman” di luar rumah.

Hubungan seks tanpa kondom Windy dengan pacarnya juga menyiratkan persoalan rumit di dalam relasi antara laki-laki-perempuan dalam hubungan seks nonkomersial, karena berkait dan berkelindan dengan perasaan yang lebih dalam dibandingkan dengan sekadar hubungan secara fisik.

Mengabaikan realitas

Sebagai antropolog, Rosalia menegaskan, norma formal berbeda dengan realitas sosial. ”Kita sering mengandaikan, hubungan seks aman ada di lembaga perkawinan, dalam perkawinan resmi. Kita abai terhadap kemungkinan lain, seperti hubungan seks nonkomersial, antara suami dan pacarnya atau antar-remaja, yang dasarnya suka sama suka. Semua ini tabu dibicarakan di publik,” papar Rosalia.

Pengabaian itu ditengarai menyebabkan tingginya angka infeksi baru HIV di kalangan perempuan yang hanya melakukan hubungan seks dengan pasangan tetap di rumah. Fenomena ini menguat di Kamboja dan Thailand.

”Di Indonesia, fenomena itu juga sudah terlihat,” sambung Rosalia, menyebut empat provinsi dengan angka infeksi baru HIV yang tinggi di kalangan perempuan bersuami. Dari perspektif antropologi feminis, pertanyaannya, ”Benarkah hubungan seks di dalam perkawinan paling aman?”

Dewi (29), ibu dua anak, sebut saja begitu, adalah salah satu contohnya. Dia terinfeksi HIV dari suaminya yang sudah meninggal karena AIDS. Saat ini Dewi rajin mengonsumsi obat antiretroviral sambil berharap akan ada obat yang menyembuhkan secara total. Ia ingin melihat anak-anaknya yang bebas HIV itu tumbuh.

Komisi Organisasi Kesehatan Dunia mengenai faktor sosial penentu kesehatan yang dibentuk tahun 2003 mendorong diterapkannya nilai-nilai kesetaraan di berbagai sistem masyarakat karena sangat memengaruhi situasi kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan reproduksi, terutama bagi perempuan.

”Sistem senantiasa terkait dengan struktur yang sangat patriarkis di semua tingkat dan hubungan-hubungan di dalamnya,” lanjut Rosalia.

Lies Marcoes menambahkan, ”Ada soal relasi kuasa dalam kesetaraan jender antara laki-laki dan perempuan, maupun secara umum antara yang kuat dan yang lemah,” sambung aktivis kesehatan reproduksi organisasi sosial keagamaan dan program officer The Asia Foundation itu.

Rumitnya relasi

Masalah kesehatan reproduksi selalu berkelindan dengan soal struktur. ”Struktur di semua sistem, pendidikan, pelayanan kesehatan, politik, budaya, dan lain-lain, mulai dari tingkat nasional sampai ke tingkat keluarga, pada laki-laki dan perempuan. Ini yang paling sulit,” ujar Lies.

Dalam masyarakat dengan nilai-nilai patriarkis, perempuan sulit punya hak penuh membuat pilihan. Posisi tawarnya rendah. Oleh karena itu, ”’pemberdayaan”, apalagi terkait dengan tubuh, mudah diucapkan, tetapi rumit diterapkan. Itu pula yang diingatkan Adrienne Germain dari Koalisi Kesehatan Perempuan Internasional di Jakarta beberapa waktu lalu.

Langkah awal yang harus dilakukan adalah penyadaran di semua struktur dan tingkat guna mengikis nilai dan tabu yang melanggar hak-hak asasi manusia, perempuan khususnya. ”Termasuk penyadaran kawin muda bukan kodrat,” tegas Rosalia.

Terkait hal itu, Kepala Perwakilan Yayasan Kependudukan Dunia (WPF) Indonesia Sri Kusyuniati mengingatkan tentang fatwa NU soal kawin gantung dan sunat perempuan. ”Kawin gantung mendorong praktik pedofilia, apalagi tak ada larangan poligami. Sunat perempuan, meski katanya hanya simbol, harus dipertimbangkan kemungkinan terburuknya di lapangan, seperti dipotongnya klitoris,” ujarnya.

Kusyuniati juga menunjuk praktik budaya beberapa suku di Indonesia yang mendiskriminasi perempuan, seperti pengasingan perempuan saat menstruasi. ”Setiap perempuan harus punya informasi dan harus bisa melindungi diri. Setelah penyadaran, harus ada proses komunikasi di dalam keluarga,” ujar Kusyuniati.

Soal itu tak kalah rumit dengan pertanyaan melingkar: apakah komunikasi berjalan baik bila relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan timpang? Mungkinkah komunikasi (dan negosiasi) tanpa posisi tawar setara? Pertanyaan itu sama rumitnya dengan pertanyaan, mana lebih dulu, telur atau ayam?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar