Ratmi's Blog

Kamis, 13 Juni 2013

Udah lama banget gak nulis sesuatu di sini. Udah hampir satu tahun bahkan. Terakhir aja tahun 2012, sedangkan sekarang aja sudah masuk bulan Juni 2013. Luama banget.

Aku mau share tentang hijab ni sekarang, siapa tau bisa jadi inspirasi buat pembaca setia blog aku ini, hehehehehe.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Langganan: Posting Komentar (Atom)

Hasil Observasi Perpustakaan Zoe Library

BAB I

PENDAHULUAN

Pada zaman global sekarang, pendidikan merupakan sesuatu yang penting. Karena pendidikan merupakan akar dari peradaban sebuah bangsa. Pendidikan sekarang telah menjadi kebutuhan pokok yang harus dimiliki setiap orang agar bisa menjawab tantangan kehidupan.Untuk memperoleh pendidikan, banyak cara yang dapat kita capai. Diantaranya melalui perpustakaan. Karena di perpustakaan berbagai sumber informasi bisa kita peroleh, selain itu banyak juga manfaat lain yang dapat kita peroleh melalui perpustakaan. Ketika kita mendengar kata perpustakaan, dalam benak kita langsung terbayang sederetan buku-buku yang tersusun rapi di dalam rak sebuah ruangan. Pendapat ini kelihatannya benar, tetapi kalau kita mau memperhatikan lebih lanjut, hal itu belumlah lengkap. Karena setumpuk buku yang diatur di rak sebuah toko buku tidak dapat disebut sebagai sebuah perpustakaan.

Keberadaan dan kemajuan perpustakaan di tengah tengah masyarakat identik atau sepadan dengan kemajuan masyarakat yang bersangkutan. Maksudnya, masyarakat yang kehidupannya sudah maju akan ditandai dengan keberadaan dan eksistensi perpustakaan yang representatif dan dimanfaatkan secara baik. Sementara untuk masyarakat yang sedang berkembang biasanya juga belum memiliki perpustakaan sebagaimana diharapkan. Perpustakaan yang sudah ada belum dimanfaatkan secara lebih berdaya guna dan behasil guna. Keberadaan dan perkembangan perpustakaan kita perlu diakui masih banyak menghadapi berbagai kendala yang tidak sederhana. Itu semua menjadi tanggung jawab semua pihak (pemerintah masyarakat dan dunia pendidikan).
Perpustakaan merupakan salah satu komponen penyelenggaraan pendidikan dalam arti luas, tak terbatas pada pendidikan formal saja, tetapi meliputi pendidikan nonformal dan informal. Kita mengenal istilah pendidikan Sepanjang hayat (life long educaton) dan pendidikan untuk semua (education for all). Oleh karena kemudian muncul suatu istilah "perpustakaan untuk kita semua". Hal itu masih menjadi sebuah wacana yang mesti diwujudkan.

Ada dua unsur utama dalam perpustakaan, yaitu buku dan ruangan. Namun, di zaman sekarang, koleksi sebuah perpustakaan tidak hanya terbatas berupa buku-buku, tetapi bisa berupa film, slide, atau lainnya, yang dapat diterima di perpustakaan sebagai sumber informasi. Kemudian semua sumber informasi itu diorganisir, disusun teratur, sehingga ketika kita membutuhkan suatu informasi, kita dengan mudah dapat menemukannya. Dengan memperhatikan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa perpustakaan adalah suatu unit kerja yang berupa tempat menyimpan koleksi bahan pustaka yang diatur secara sistematis dan dapat digunakan oleh pemakainya sebagai sumber informasi. ( Sugiyanto )

Menurut RUU Perpustakaan pada Bab I pasal 1 menyatakan Perpustakaan adalah institusi yang mengumpulkan pengetahuan tercetak dan terekam, mengelolanya dengan cara khusus guna memenuhi kebutuhan intelektualitas para penggunanya melalui beragam cara interaksi pengetahuan. Perpustakaan adalah fasilitas atau tempat menyediakan sarana bahan bacaan. Tujuan dari perpustakaan sendiri, khususnya perpustakaan perguruan tinggi adalah memberikan layanan informasi untuk kegiatan belajar, penelitian, dan pengabdian masyarakat dalam rangka melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi (Wiranto dkk,1997).

Secara umum dapat disimpulkan bahwa pengertian perustakaan adalah suatu institusi unit kerja yang menyimpan koleksi bahan pustaka secara sistematis dan mengelolanya dengan cara khusus sebagai sumber informasi dan dapat digunakan oleh pemakainya.

Namun, saat ini pengertian tradisional dan paradigma lama mulai tergeser seiring perkembangan berbagai jenis perpustakaan, variasi koleksi dalam berbagai format memungkinkan perpustakaan secara fisik tidak lagi berupa gedung penyimpanan koleksi buku. Banyak kalangan terfokus untuk memandang perpustakaan sebagai sistem, tidak lagi menggunakan pendekatan fisik. Sebagai sebuah sistem perpustakaan terdiri dari beberapa unit kerja atau bagian yang terintergrasikan melalui sistem yang dipakai untuk pengolahan, penyusunan dan pelayanan koleksi yang mendukung berjalannya fungsi – fungsi perpustakaan. Perkembangannya menempatkan perpustakaan menjadi sumber informasi ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya. Dari istilah pustaka, berkembang istilah pustakawan, kepustakaan, ilmu perpustakaan, dan kepustakawanan yang akan dijelaskan sebagai berikut :

Pustaka atau buku atau kitab, yaitu kumpulan atau bahan berisi hasil tulisan atau cetakan, dijilid menjadi satu agar mudah dibaca yang berjumlah sedikitnya 48 halaman. Dari kata pustaka terbentuk kata turunan, yaitu perpustakaan, pustakawan, kepustakaan, ilmu perpustakaan, dan kepustakawanan.

1. Pustakawan : Orang yang bekerja pada lembaga – lembaga perpustakaan atau yang sejenis dan memiliki pendidikan perpustakaan secara formal.

2. Kepustakaan : Bahan – bahan yang menjadi acuan atau bacaaan dalam menghasilkan atau menyusun tulisan baik berupa artikel, karangan, buku, laporan, dan sejenisnya.

3. Ilmu Perpustakaan : Bidang ilmu yang mempelajari dan mengkaji hal – hal yang berkaitan dengan perpustakaan baik dari segi organisasi koleksi, penyebaran dan pelestarian ilmu pengetahuan teknologi dan budaya serta jasa- jasa lainnya kepada masyarakat, hal lain yang berkenaan dengan jasa perpustakaan dan peranan secara lebih luas.

4. Kepustakawanan : Hal – hal yang berkaitan dengan upaya penerapan ilmu perpustakaan dan profesi kepustakawanan.

Maksud dan Tujuan Pendirian Perpustakaan

Aktifitas utama dari perpustakaan adalah menghimpun informasi dalam berbagai bentuk atau format untuk pelestarian bahan pustaka dan sumber informasi sumber ilmu pengetahuan lainnya. Maksud pendirian perpustakaan adalah :

Menyediakan sarana atau tempat untuk menghimpun berbagai sumber informasi untuk dikoleksi secara terus menerus, diolah dan diproses. Sebagai sarana atau wahana untuk melestarikan hasil budaya manusia ( ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya ) melalui aktifitas pemeliharaan dan pengawetan koleksi. Sebagai agen perubahan ( Agent of changes ) dan agen kebudayaan serta pusat informasi dan sumber belajar mengenai masa lalu, sekarang, dan masa akan datang. Selain itu, juga dapat menjadi pusat penelitian, rekreasi dan aktifitas ilmiah lainnya.
Tujuan pendirian perpustakaan untuk menciptakan masyarakat terpelajar dan terdidik, terbiasa membaca, berbudaya tinggi serta mendorong terciptanya pendidikan sepanjang hayat ( Long life education ).

BAB II

TINJAUAN LITERATUR

2.1 Pengertian Perpustakaan

Istilah perpustakaan berasal dari kata dasar pustaka. Yang berarti buku, atau kitab. Kemudian mendapat awalan per dan akhiran an menjadi perpustakaan. Selanjutnya dalam istilah perpustakaan terkandung pengertian "kumpulan buku dan informasi yang disusun di ruang tertentu dilengkapi dengan perlengkapan (sarana prasarana), menurut aturan tertentu, diatur dan dilayankan oleh petugas (pustakawan) dan dipergunakan oleh para pemembaca/pemakai.
Dalam istilah Inggris perpustakaan adalah library yang berasal dari bahasa, latin liber, yang berarti buku. Sehingga orang-orang yang bekerja di sebuah library disebut librarian atau pustakawan. Dari uraian tersebut maka sebuah perpustakaan mengandung persyaratan persyaratan sebagai berikut : (I) adanya kumpulan koleksi informasi (bahan pustaka) yang tersusun rapi, (2) menggunakan suatu sistem tertentu, (3) dikelola dan dilayankan oleh petugas dengan persyaratan, kemampuan, pendidikan, keterampilan tertentu, (4) ditempatkan pada tempat, ruang atau gedung tertentu, yang secara khusus dipergunakan untuk perpustakaan, (5) adanya masyarakat pemakai yang memang diharapkan menjadi pemakai, (6) adanya pedoman/peraturan atau ketentuan untuk menggunakan perpustakaan tersebut, (7) adanya perlengkapan, fasilitas dan sarana prasarana untuk menunjang pemakaian perpustakaan. Seperti meja kursi baca, meja layanan, rak buku, lemari katalog dan sebagainya. Semua itu dimaksudkan agar tercipta suasana yang kondusif, nyaman, tenteram, tenang untuk membaca dan belajar. Di perpustakaan mesti dihindari terjadinya "kesemrawutan" atas penyelenggaraan perpustakaan. Perpustakaan identik dengan buku, informasi, suasana belajar, ketenangan dan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan (knowledges).

2.2 Jenis -jenis Perpustakaan

Kita mengenal beberapa jenis perpustakaan. Yang membedakan jenis-jenis perpustakaan tersebut adalah tujuan perpustakaannya, koleksi yang tersedia, masyarakat yang dilayani, badan atau pihak yang berwenang menyelenggarakan perpustakaan tersebut. IFLA (Internasional Federation of Library Association) mengelompokkan jenis-jenis perpustakaan atas :

1. Perpustakaan Nasional (National Library)

2. Perpustakaan Umum (Public Library)

3. Perpustakaan Perguruan Tinggi (University Library)

4. Perpustakaan Sekolah (School Library)

5. Perpustakaan Khusus (Special Library)

6. Perpustakaan Wilayah

7. Perpustakaan Keliling

2.3 Perpustakaan Umum (Public Library)

Perpustakaan umum merupakan perpustakaan yang menghimpun koleksi buku, bahan cetakan serta rekaman lain untuk kepentingan masyarakat umum. Menurut Hermawan dan Zen (2006 : 30), “Perpustakaan umum adalah perpustakaan yang melayani seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan latar belakang, status sosial, agama, suku, pendidikan dan sebagainya.

Sedangkan Sjahrial-Pamuntjak (2000 ; 3) menyatakan bahwa Perpustakaan umum ialah perpustakaan yang menghimpun koleksi buku, bahan cetakan serta rekaman lain untuk kepentingan masyarakat umum. Perpustakaan umum berdiri sebagai lembaga yang diadakan untuk dan oleh masyarakat. Setiap warga dapat menggunakan perpustakaan tanpa dibedakan pekerjaaan, kedudukan, kebudayaan dan agama. Meminjam buku dan bahan lain dari koleksi perpustakaan dapat dengan cuma-cuma atau dengan membayar iuran sekedarnya sebagai tanda kenggotaan dari perpustakaan tersebut.

Selain kedua pendapat di atas Sulistyo-Basuki (1993 : 46), mengemukakan bahwa “Perpustakaan umum adalah perpustakaan yang diselenggarakan oleh dana umum dengan tujuan melayani umum”

Pendapat di atas mengemukakan bahwa, perpustakaan umum adalah perpustakaan yang menghimpun koleksi buku, bahan cetakan serta rekaman lain untuk kepentingan masyarakat umum, tanpa membedakan latar belakang, status sosial, agama, suku, pendidikan dan sebagainya. Perpustakaan ini dibiayai oleh dana umum serta jasa yang diberikan pada hakekatnya bersifat cuma-cuma.

2.4 Tujuan dan Fungsi Perpustakaan Umum

2.4.1Tujuan Perpustakaan Umum

Pada dasarnya penyelenggaraan perpustakaan umum memiliki beberapa tujuan yang ingin dicapai. Menurut Yusuf (1996 :18), tujuan Perpustakaan Umum antara lain:

1. Mengembangkan minat baca serta mendayagunakan semua bahan pustaka yang tersedia di Perpustakaan Umum ;

2. Mengembangkan kemampuan mencari, mengolah, dan memanfaatkan informasi yang tersedia di Perpustakaan Umum ;

3. Mendidik masyarakat agar dapat menggunakan informasi yang tersedia di Perpustakaan Umum ;

4. Meletakkan dasar-dasar ke arah belajar mandiri ;

5. Memupuk minat baca dan menumbuhkan daya apresiasi dan imajinasi masyarakat ;

6. Mengembangkan kemampuan untuk memecahkan masalah, tanggung jawab dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional.

Sedangkan dalam Manifesto Perpustakaan Umum UNESCO yang dikutip oleh Sulistyo-Basuki (1993 : 46) dinyatakan bahwa Perpustakaan Umum mempunyai empat tujuan utama, yaitu :

1. Memberikan kesempatan bagi umum untuk membaca bahan pustaka yang dapat membantu meningkatkan mereka ke arah kehidupan yang lebih baik;

2. Menyediakan informasi yang cepat, tepat dan murah bagi masyarakat, terutama informasi mengenai topik yang berguna bagi mereka dan sedang hangat dalam kalangan masyarakat ;

3. Membantu warga untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya sehinga yang bersangkutan akan bermanfaat bagi masyarkat sekitarnya, sejauh kemampuan tersebut dapat disebut sebagai fungsi pendidikan perpustakaan umum, lebih tepat disebut sebagai pendidikan berkesinambungan ataupun pendidikan seumur hidup. Pendidikan seperti ini hanya dapat dilakukan oleh perpustakaan umum karena perpustakaan umum merupakan satu-satunya pranata kepustakawanan yang terbuka bagi umum. Perpustakaan nasional juga terbuka untuk umum namun untuk memanfaatkannya tidak selalu terbuka langsung bagi perorangan, adakalanya harus melalui perpustakaan lain;

4. Bertindak sebagai agen kultural artinya perpustakaan umum merupakan pusat utama kehidupan budaya bagi masyarakat sekitarnya. Perpustakaan umum bertugas menumbuhkan budaya masyarakat sekitarnya dengan cara menyelenggarakan pameran budaya, ceramah, pemutaran film dan penyediaan informasi yang dapat meningkatkan keikutsertaan, kegemaran dan apresiasi masyarakat terhadap segala bentuk seni.

Selain uraian tersebut di atas dalam Buku Panduan Penyelenggaran Perpustakaan Umum (1992 : 6), dinyatakan bahwa tujuan perpustakaan umum dirinci ke dalam tiga jenis tujuan sebagai berikut :

• Tujuan Umum

Tujuan umum perpustakaan adalah membina dan mengembangkan kebiasaan membaca dan belajar sebagai suatu proses yang berkesinambungan seumur hidup serta kesegaran jasmani dan rohani masyarakat berada dalam jangkauan layanan, sehingga berkembang.

Daya kreasi dan inovasinya bagi peningkatan martabat dan produktivitas setiap warga masyarakat secara menyeluruh dalam menunjang pembangunan sosial.

• Tujuan Fungsional

Tujuan fungsional dan tujuan khusus Perpustakaan Umum adalah :

a. Mengembangkan minat, kemampuan dan kebiasaan membaca, serta mendayagunakan budaya tujlisan dalam segala sektor kehidupan.

b. Mengembangkan kemampuan mencari, mengolah serta memanfaatkan informasi ;

c. Mendidik masyarakat pada umumnya agar dapat memelihara dan memanfaatkan bahan pustaka secara tepat guna dan berhasil guna ;

d. Meletakkan dasar-dasar ke arah belajar mandiri ;

e. Memupuk minat dan bakat masyarakat ;

f. Menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan atas tanggung jawab dan usaha sendiri dengan mengembangkan kemampuan membaca masyarakat ;

g. Berpartisipasi aktif dalam menunjang pembangunan nasional yang menyediakan bahan pustaka yang dibutuhkan dalam pembangunan sesuai kebutuhan seluruh lapisan masyarakat.

• Tujuan Operasional

Tujuan Operasional Perpustakaan umum merupakan pernyataan formal yang terperinci tentang sasaran yang harus dicapai serta cara mencapainya, sehingga tujuan tersebut dapat dimonitor, diukur dan dievaluasi keberhasilannya.

Dari ketiga uraian di atas mengemukakan bahwa tujuan perpustakaan umum adalah membina dan mendidik masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan memanfaatkan bahan pustaka dengan baik agar mendapatkan informasi yang sesuai dengan kebutuhan. Perpustakaan umum memberikan pengarahan dan pendidikan tentang tujuan dan manfaat perpustakaan bagi masyarakat. Di samping itu perpustakaan umum juga berperan untuk mengembangkan kebiasaan membaca serta belajar mandiri masyarakat dengan mempergunakan bahan pustaka.

2.4.2 Fungsi Perpustakaan Umum

Perpustakaan umum menyediakan berbagai koleksi yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk menambah pengetahuan. Koleksi yang tersedia tidak hanya terbatas pada yang tercetak tetapi juga mencakup yang elektronik.

Dengan ketersediaan koleksi, perpustakaan akan dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. menurut Yusuf (1996 : 21) fungsi perpustakaan umum dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Fungsi Edukatif

Perpustakaan Umum menyediakan berbagai jenis bahan bacaan berupa karya cetak dan karya rekam untuk dapat dijadikan sumber belajar dan menambah pengetahuan secara mandiri. Budaya mandiri dapat membentuk masyarakat yang belajar seumur hidup dan gemar membaca

2. Fungsi Informatif

Perpustakaan Umum sama dengan berbagai jenis perpustakaan lainnya, yaitu menyediakan buku-buku referensi, bacaan ilmiah populer berupa buku dan majalah ilmiah serta data-data penting lainnya yang perlukan pembaca.

3. Fungsi Kultural

Perpustakaan Umum menyediakan berbagai bahan pustaka sebagai hasil budaya bangsa yang direkam dalam bentuk tercetak/terekam. Perpustakaan merupakan tempat penyimpanan dan terkumpulnya berbagai karya budaya manusia yang setiap waktu dapat diikuti perkembangannya melalui koleksi perpustakaan.

4. Fungsi Rekreasi

Perpustakaan Umum bukan hanya menyediakan bacaan-bacaan ilmiah, tetapi juga menghimpun bacaan hiburan berupa buku-buku fiksi dan majalah hiburan untuk anak-anak, remaja dan dewasa. Bacaan fiksi dapat menambah pengalaman atau menumbuhkan imajinasi pembacanya dan banyak digemari oleh anak-anak dan dewasa.

Sedangkan menurut Sulistyo-Basuki (1993 : 27) Perpustakaan Umum berfungsi sebagai:

a. Sebagai sarana simpan karya manusia

Perpustakaan berfungsi sebagai tempat menyimpan karya manusia, khususnya karya cetak seperti buku, majalah, dan sejenisnya serta karya rekaman seperti kaset, piringan hitam, dan sejenisnya.

b. Fungsi Informasi

Bagi anggota masyarakat yang memerlukan informasi dapat memintanya ataupun menanyakannya ke perpustakaan.

c. Fungsi Rekreasi

Masyarakat dapat menikmati rekreasi kultural dengan cara membaca dan bacaan ini disediakan oleh perpustakaan

d. Fungsi Pendidikan

Perpustakaan merupakan pendidikan nonformal dan informasi, artinya perpustakaan merupakan tempat belajar di luar bangku sekolah maupun juga tempat belajar dalam pendidikan lingkungan sekolah

e. Fungsi Kultural

Perpustakaan merupakan tempat untuk mendidik dan mengembangkan apresiasi budaya masyarakat.

Kedua uraian di atas mengemukakan bahwa perpustakaan umum mempunyai fungsi edukatif, informatif, rekreasi, referensi, kultural, dan sebagai sarana simpan karya manusia dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

2.4.3 Tugas Perpustakan Umum

Perpustakaan umum melakukan tugas untuk mencapai tujuan perpustakaan umum, sebagaimana dinyatakan dalam Buku Pedoman Umum Penyelenggaraan Perpustakaan Umum (2000 : 5), “Tugas pokok perpustakaan umum adalah menyediakan, mengolah, memelihara dan mendayagunakan koleksi bahan pustaka, menyediakan sarana pemanfaatannya dan melayani masyarakat pengguna yang membutuhkan informasi dan bahan bacaan”.

Pendapat lain dikemukakan oleh Yusuf (1996 : 18 ) menyatakan bahwa tugas pokok perpustakaan umum adalah sebagai berikut :

1. Perpustakaan umum disediakan oleh Pemerintah dan masyarakat untuk melayani kebutuhan bahan pustaka masyarakat

2. Perpustakaan umum menyediakan bahan pustaka yang dapat menumbuhkan kegairahan masyarakat untuk belajar dan membaca sedini mungkin

3. Mendorong masyarakat untuk terampil memilih bacaan yang sesuai dengan kebutuhannya dalam meningkatkan pengetahuan untuk menunjang pendidikan formal, nonformal, dan informal

4. Menyediakan aneka ragam bahan pustaka yang bermanfaat untuk dibaca agar dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat yang layak sehingga dapat berpartisipasi dalam pembangunan nasional.

Kedua pendapat di atas menyatakan bahwa tugas perpustakaan umum adalah menyediakan, memelihara, dan mendayagunakan bahan pustaka untuk dibaca agar dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat sehingga dapat berpartisipasi dalam pembangunan nasional.

BAB III

HASIL OBSERVASI

3.1 Lokasi Penelitian

Nama Perpustakaan : ZOE ( Zone of Edutainment ) Library

Alamat : Jl. Margonda Raya No. 27 Depok

Website : www.zoe-library-cafe.com

Facebook Gropu : Zoe Library, Shop & Café

Tlpn. : (021) 7775473

3.2 Hasil Penelitian (Observasi)

Perpustakaan Zoe (Zone of Edutainment) terletak di Jl. Margonda Raya No. 27 Depok, Jawa Barat. Perpustakaan ini terletak di samping sebelah kiri dari rumah sakit Bunda Margonda. Seperti namanya, Zone of Edutainment, Zoe berupaya menawarkan konsep taman bacaan sebagai sarana pendidikan, sekaligus tempat hiburan. Letak perpustakaan ini sangat strategis karena terletak di pinggir jalan raya Margonda sehingga mudah untuk di jangkau oleh para pengunjung. Perpustakaan ini sangat unik karena selain pengunjung yang datang ke tempat tersebut untuk membaca atau meminjam buku, pengunjung juga dapat menikmati makanan dan minuman yang disediakan oleh Zoe café yang berada di sebelah perpustakaan. Perpustakaan ini merupakan perpustakaan umum yang terbuka untuk semua kalangan, baik dari kalangan pelajar, mahasiswa, karyawan/pekerja kantoran, atau masyarakat umum lainnya. Kesan pertama ketika berkunjung ke perpustakaan tersebut adalah agak sepi pengunjung. Hal ini Mungkin dikarenakan karena masih pagi. Perpustakaan ini buka setiap hari dari jam 10.00 sampai jam 11.00 pagi, namun kalau weekend (Sabtu- Minggu) buka dari jam 10.00 sampai jam 12.00 malam dan tutup jika hari libur nasional, misalnya hari raya idul fitri.

Bangunan Zoe library agak sempit karena hanya ada dua ruangan, satu ruangan untuk koleksi yang dipinjamkan atau dibaca oleh pengguna atau pengunjung perpustakaan sedangkan satu ruangan lagi khusus untuk koleksi buku yang di jual bagi para pengunjung yang ingin membeli buku. Bangunan atau ruangan perpustakaan tersebut terdiri atas beberapa rak buku. Rak buku tersebut diletakkan di setiap dinding ruangan dan di tengah-tengah ruangan perpustakan zoe library.

Zoe library memiliki beberapa fasilitas, diantaranya adalah fasilitas internet gratis (free hotspot), ruang baca terbuka yang terletak di luar bangunan perpustakaan yaitu lantai satu dan lantai dua, kasir dan ruang sirkulasi atau peminjaman, loker untuk tempat penitipan barang atau tas, tempat makan (café), mushola, dan toilet yang terletak di samping bangunan perpustakaan.

Layanan yang disediakan zoe library diantaranya adalah layanan pendaftaran untuk menjadi anggota atau member zoe library, layanan sewa buku, layanan peminjaman, dan layanan pembelian bagi pengunjung yang ingin mbelian buku. Layanan peminjaman atau sewa yang diberikan zoe library ada dua macam yaitu peminjaman buku untuk baca di tempat dan peminjaman/sewa buku untuk di bawa pulang. Besarnya harga sewa tergantung dari harga buku dan jumlah buku yang di pinjam. Harga sewa buku berkisar 1000 sampai 10.000 rupiah. Bagi pengunjung yang ingin meminjam atau menyewa buku, mereka harus menjadi anggota atau member perpustakaan zoe library terlebih dahulu. Persyaratan bagi para pengunjung yang ingin menjadi anggota perpustakaan zoe library adalah harus menyerahkan fotocopy KTP, pas foto ukuran 2x3, menunjukan kartu pelajar atau mahasiswa, dan membayar biaya administrasi tergantung dari status pengunjung, misalnya pelajar dikenakan biaya administrasi sebesar 30.000, mahasiswa sebesar 40.000 dan karyawan/pekerja kantoran sebesar 50.000. Zoe library juga memberikan diskon bagi pengunjung yang ingin menjadi member diantaranya diskon 50% apabila pengunjung ingin meminjam buku dan baca di tempat, diskon 10% untuk setiap transaksi di zoe café, diskon 10% untuk setiap pembelian buku di zoe library, bisa menyewa buku atau video untuk di bawa pulang, gratis sewa atau makan saat ulang tahun senilai 25.000 rupiah, dapat point reward setiap kali transaksi, mendapatkan udangan khusus setiap ada event atau acara yang diadakan oleh zoe café dan gratis baca sepuasnya saat ulang tahun. Sebagai anggota seseorang bisa meminjam buku untuk dibawa pulang hingga tujuh buku. Sedangkan tarif baca di tempat bagi umum Rp 3000 - Rp 6000 per buku. Anggota juga dapat keuntungan diskon jika membeli makanan atau minuman kafe di dalam zoe. Namun disamping memberikan diskon kepada member/anggota, perpustakaan tersebut juga mengenakan sangsi atau denda bagi para pengunjung yang terlambat mengembalikan buku. Denda keterlambatan peminjaman buku sebesar 500 rupaih perhari. Namun ada ketentuan yang berlaku bagi buku-buku tertentu, misalnya buku di atas harga 5000 maka denda yang dikenakan bisa sampai 2000 perhari sedangkan harga buku dibawah 5000 sebesar 1000 rupiah perhari. Selain itu zoe library juga menyediakan jasa layanan khusus bagi pengunjung, seperti membantu mencari buku yang dibutuhkan pengguna atau pengunjung zoe library.

Suasana zoe library cukup nyaman dengan adanya ruang baca terbuka bagi para pengunjung. Namun suasana di dalam ruangan zoe library masih kurang nyaman karena ruangan yang digunakan untuk menyimpan koleksi yang dimilki kurang lebar sehingga kesan pertama yang dirasakan pengungunjung ketika berkunjung ke perpustakaan tersebut agak sempit. Penerangan dan pencahayaan di perpustakaan tersebut juga kurang terang sehingga terkesan agak gelap apalagi ditambah dengan rak buku yang berwarna hitam di dalam ruangan tersebut. Pendingin ruangan (air conditioner) di perpustakaan tersebut juga kurang dingin, karena saya masih merasa gerah ketika berada dalam ruangan tersebut, saya melihat hanya ada tiga pendingin ruangan yang disediakan. Yang satu diletakkan di kasir atau pintu masuk perpustakaan dan yang ke dua diletakkan di ruang bagian buku yang di jual, sedangkan yang satu diletakkan di ruang koleksi buku yang disewakan atau dipinjamkan. Namun tetap saja suhu di ruangan tersebut masih terasa panas.mungkin ini di karenakan penganturan suhu yang tidak seimbang dengan luas ruangan perpustakaan tersebut.

Pelayanan di zoe library cukup baik karena penjaga perpustakaan tersebut cukup ramah dan sopan. Hal ini terlihat ketika saya berkunjung ke perpustakaan tersebut penjaga zoe library mengijinkan saya melakukan observasi pada perpustakaan tersebut tanpa harus meminta izin dari manajemen perpustakaan atau pemilik perpustakaan dan Zoe café. Penjaga perpustakaan tersebut juga ramah dan baik. Beliau bersedia menjawab semua pertanyaan yang saya lontarkan atau tanyakan seputar perpustakaan tersebut, walaupun ada salah seorang penjaga yang merasa kesulitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang saya tanyakan. Hal ini mungkin dikarenakan penjaga perpustakaan tersebut masih baru bekerja di zoe library sehingga penjaga tersebut belum mengetahui asal usul atau sejarah perpustakaan zoe library. Ada dua penjaga perpustakaan di zoe library, yang satu khusus melayani peminjaman dan pembelian buku sedangkan yang satu lagi bertugas menyusun buku – buku atau koleksi yang selesai di pinjam oleh para pengunjung ke dalam rak yang telah tersedia.

Zoe library memiliki beberapa koleksi yang disewakan dan di jual. Perpustakaan ini memiliki koleksi 10 ribu lebih judul buku dan koleksi yang disewakan sekitar 3000 koleksi. Koleksi yang dimiliki perpustakaan tersebut diantaranya adalah komik, majalah, novel, buku pengetahuan dan banyak lagi koleksi fiksi dan non fiksi lainnya. Sebagian besar koleksi yang banyak disediakan atau disewakan oleh perpustakaan zoe library adalah komik karena banyak peminatnya. Komik yang dimiliki pun beraneka ragam, mulai dari komik Indonesia sampai komik luar negri (western), sedangkan majalahnya juga beraneka ragam. Ada majalah anak-anak, majalah untuk remaja dan majalah untuk orang dewasa atau para orang tua. Contoh majalah yang disediakan misalnya majalah gogirl, kartini, tempo, bazzar dan masih banyak lagi majalah lainnya. Perpustakaan tersebut juga dulu memiliki koleksi film yang disewakan bagi para pengunjung perpustakaan, namun sekarng perpustakaan tersebut sudah tidak meyediakan koleksi perpustakaan yang berbentuk kaset atau film.

Koleksi- koleksi yang disewakan oleh zoe library ini tidak disusun berdasarkan klasifikasi DDC seperti kebanyakan perpustakaan sekolah atau perpustakaan perguruan tinggi lainnya, namun koleksi-koleksi tersebut disusun berdasarkan abjad dari judul buku dan nama-nama pengarang yang banyak diminati oleh para pengunjung. Koleksi-koleksi tersebut disusun dimulai dari judul buku yang berawalan dari huruf A sampai hufuf Z. Namun koleksi-koleksi yang disusun berdasarkan nama pengarang tidak disusun berdasarkan abajd tetapi disusun secara acak. Selain itu koleksi-koleksi tersebut ada yang disusun dan ditandai berdasarkan subjek atau jenis buku tertentu, misalnya beberapa koleksi yang disusun di rak di beri tanda metropop, teenlit, serial cantik dan pop science. Hal ini digunakan untuk memudahkan para pengunjung yang ingin meminjam buku dalam kategori jenis buku tertentu. Selain itu ada beberapa buku yang di simpan di rak yang tersendiri dan ditandai dengan tulisan New Release books. Hal ini dilakukan untuk memberitahu dan memudahkan para pengunjung mengetahui buku yang baru terbit minggu ini.

BAB IV

EVALUASI DAN KESIMPULAN

a. Letak atau lokasi zoe library

Letak Perpustakaan Zoe library sangat strategis karena lokasinnya terletak di pinggir jalan raya Margonda yang sering dilalui banyak orang sehingga mudah di jangkau. Penunjuk arah yang menunjukkan dimana perpustakaan tersebut berada cukup jelas. Tulisan Zoe terlihat sangat jelas jika dilihat dari jarak jauh sehingga pengunjung yang ingin datang sambil menikmati makanan tidak merasa kebingunan mencari letak perpustakaan zoe library.

b. Bangunan zoe library

Desain bangunan perpustakaan ini cukup menarik karena ruang baca yang disediakan berada di tempat terbuka bersamaan dengan tempat makan café zoe. Dengan adanya ruang baca di tempat terbuka dan berada di pinggir jalan maka dapat menambah nilai plus dari perpustakaan tersebut. Ruang baca yang disediakan zoe library tidak berada di dalam gedung perpustakaan zoe library melainkan berada di luar gedung perpustakaan bersamaan dengan tempat makan dan minum zoe café. Ruang baca perpustakaan ini ada dua lantai, satu lantai terletak di bawah yaitu lantai dasar dekat dengan perpustakaan dan café zoe, sedangkan ruang baca lantai dua berada di atas bangunan zoe café. Namun kenyamanan pembaca mungkin agak sedikit terganggu jika pembaca memilih duduk di ruang baca yang dekat dengan jalan raya, karena pembaca yang tidak suka kebisingan akan merasa terganggu dengan adanya suara kendaraan bermotor yang lalu lalang di sepanjang jalan Margonda. Untuk itu apabila pembaca yang menginginkan suasana agx sepia tau tidak bising pembaca dapat memilih tempat baca di lantai 2 agar kenyamanan mereka tidak terganggu dengan suara bising kendaraan bermotor.

c. Suasana di zoe library

Suasana di perpustakaan PSJ ini agak berisik karena banyak kendaraan yang lalu lalang di dekat perpustakaan zoe library. Suasana perpustakaan tersebut kurang kondusif bagi para pengguna yang datang untuk membaca buku yang mereka pinjam dari zoe library. Namun bagi para pembaca yang sudah terbiasa membaca di tempat yang ramai , itu tidak menjadi masalah.

d. Pelayanan zoe library

Setiap pengunjung yang datang ke zoe library harus menitipkan tasnya di loker. Perpustakaan ini memiliki 2 pegawai perpustakaan, satu pegawai bertugas melayani peminjaman dan pembelian buku, sedangkan pegawai satunya bertugas meyusun buku yang telah selesai dipinjam oleh pengunjung. Secara keseluruhan petugas atau penjaga perpustakaan mau menjawab semua pertanyaan dari pengunjung.

e. Pengunjung zoe library

Pengunjung perpustakaan zoe library kebanyakan adalah pengunjung yang berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Anggota perpustakaan zoe library sekarang mencapai 4000 anggota. Perpustakaan zoe library juga berharap anggota perpustakaan semakin bertambah tiap harinya.

f. Fasilitas zoe library

Perpustakaan zoe library ini tidak menyediakan OPAC jadi pengunjung yang ingin mencari buku-buku yang diperlukan bisa merawak langsung atau mencari langsung ke rak. Disamping itu pengunjung juga bisa meminta tolong penjaga perpustakaan untuk mencari buku yang diinginkan pengunjung. Perpustakaan ini telah menyediakan fasilitas internet wifi (wirless) gratis bagi pengunjung yang membawa laptop sendiri. Perpustakaan ini memiliki ruang baca yang cukup lebar dengan ruangan semi terbuka yang disediakan bagi para pengunjung perpustakaan. Selain itu juga terdapat café yang dapat dinikmati oleh pengunjung yang ingin menikmati makanan dan minuman sambil membaca buku yang di pinjam.

g. Koleksi perpustakaan atau koleksi bahan pustaka di zoe libray

Perpustakaan zoe library memiliki beragam koleksi mulai dari majalah, buku teks, novel, koran, dan buku-buku yang lainnya. Sebagian besar koleksi yang dimiliki perpustakaan ini adalah komik. Koleksi-koleksi tersebut disusun secara alpabetis berdasarkan judul buku dan nama pengarang yang banyak diminati. Perpustakaan ini memiliki koleksi sekitar 1000 buah namun belum termasuk koleksi yang di jual di zoe shop.

h. Layanan Sirkulasi zoe library

Layanan sirkulasi zoe library sudah cukup baik. Setiap pengunjung yang ingin meminjam buku atau koleksi bahan pustaka di perpustakaan ini harus menjadi anggota perpustakaan terlebih dahulu karena pengunjung yang tidak memiliki kartu anggota tidak diperbolehkan untuk meminjam buku di perpustakaan ini melainkan hanya boleh membaca buku atau koleksi di tempat saja. Selain itu petugas perpustakaan akan memberikan catatan yang menyatakan bahwa pengunjung tersebut telah meminjam buku dari perpustakaan tersebut dan harus mengembalikannya sesuai pada tanggal kembali yang dicantumkan. Jika pengunjung yang meminjam buku telat mengembalikan buku yang dipinjam maka peminjam akan dikenakan denda sesuai dengan keterlambatannya.

Kesimpulan

Dari hasil observasi dan evaluasi yang di lakukan dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan perpustakaan zoe library ini sudah cukup baik. Perpustakaan zoe library juga bisa dikatakan perpustakaan yang memiliki nilai tambah atau nilai plus karena menyediakan café di samping perpustakaan sehingga memudahkan pengunjung yang ingin menikmati/menyantap makanan sambil membaca buku. Penyediaan ruang baca yang bersifat terbuka menarik pengunjung untuk mengunjungi perpustakaan tersebut. Hanya saja perpustakaan ini belum memenuhi standar perpustakaan yang baik, karena fasilitas yang dimilki masih terbatas dan kurang lengkap sehingga perlu di tambah lagi fasilitasnya agar perpustakaan ini bisa berkembang dan lebih maju.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Septiyanto, Tri. Sidik , Umar. 2003. Dasar-dasar ilmu perpustakaan dan informasi. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi Fakultas Arab IAIN Sunan Kalijaga.

Artikel Internet

http://zoedepok.multiply.com/journal

http://warintek08.wordpress.com/tes/

http://www.bit.lipi.go.id/masyarakat-literasi/index.php/keperpustakaan/44-peran-a-fungsi-perpustakaan

Makalah Kebudayaan Indonesia

LUDRUK TERSINGKIR JAUH KE PEDESAAN

Disusun untuk memenuhi tugas Ujian akhir Semester

Mata Kuliah Kebudayaan Indonesia

Kelas Reguler 9

Disusun Oleh :

Ratmi Agustina (0806322275)

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK, 2010

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………………………………………………….…………………………………..i

BAB I LUDRUK SEBAGAI KESENIAN TRADISI JAWA TIMUR……………………..…1

Pendahuluan……………………………………………………………………………….……..1

Sejarah Kesenian Ludruk...................................................................................................1

1.1 Arti Ludruk…………………………………………………………………...……………….1

2.2 Ciri khas ludruk…………………………………………………………………………..…..2

BAB II PERTUNJUKAN DAN PERKEMBANGAN LUDRUK………………………..……3

2.1 Asal mula ludruk……………………………………………………………………………..3

2.2 Periodisasi……………………………………………………………………………….……5

2.3 Fungsi ludruk bagi kehidupan masyarakat…………..…………………………….….…....8

2.4 Struktur Pementasan Ludruk……………………………………………………………....11

BAB III KEHIDUPAN SENIMAN LUDRUK…………………………………………..……12

BAB IV PERMASALAHAN LUDRUK…………………………………………..…………..13

4.1 Ludruk Tersingkir Jauh ke Pedesaan……….……………………………………..……….13

4.2 Ludruk Diantara Gerak Zaman (masa depan ludruk)……………………….…………….15

4.3 Apresiasi dan dukungan Masyarakat………………………………………………..…..…15

4.4 Upaya-upaya untuk melestarikan kesenian ludruk……………………………….….…….16

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI…………………………………….…..…...17

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….…..18

LAMPIRAN GAMBAR…………………………………………………………………..……19

BAB I LUDRUK SEBAGAI KESENIAN TRADISI JAWA TIMUR

Latar belakang pemilihan topik

Penulis memilih topik tentang kesenian tradisional ludruk karena pada zaman sekarang kesenian tradisional ludruk sudah jarang dikenal dan diminati oleh masyarakat. Padahal kita tahu bahwa kesenian ludruk adalah bagian dari kesenian tradisional dan kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sebagai warga Indonesia yang mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi seharusnya mampu melestarikan kebudayaan tradisional yang dimiliki dan melakukan sesuatu yang dapat mengembakan kesenian tradisional agar tidak terpuruk atau punah begitu saja. Dalam hal ini penulis mencoba mengenalkan dan menguraikan tentang kesenian ludruk, sejarahnya, fungsinya sebagai media komunikasi dan permasalahan yang dihadapi dalam pementasan ludruk.

Pendahuluan

Ludruk adalah sebuah kesenian tradisional khas daerah Jawa Timur, mereka hidup diantara kesenian tradisional lainnya, seperti ketoprak, dalang, jaranan, reog, wayang dan masih banyak lagi yang lainnya. Ludruk tergolong kesenian folkor setengah lisan yang diekspresikan dalam bentuk gerak dan diamainkan diatas panggung atau dapat juga dikatakan sebagai teater (sandiwara) rakyat yang didalamnya mengandung unsur gerak, tari, (kidungan), musik dekor, cerita, dan lain-lain. Pertunjukan rakyat ini tumbuh dan hidup berkembang mengikuti perjalanan masa tanpa kehilangan unsur tradisionalnya yang masih terlihat pada adegan ngremo dan kidungan ( Nuning Wahyuni, 1975 : 4). Ngremo merupakan suatu tarian dengan gerakan sederhana tetapi berdinamika dan menonjolkan sikap kejantanan atau kepahlawana. Gerak lemparan selendang diiringi irama gending yang tegas melukiskan watak rakyat Jawa Timur yang terbuka dan spontan. Sedangkan parikan atau kidungan adalah syair-syair berisi anekdote-anekdote dan fenomena kehidupan rakyat jelata, petikan nasihat-nasihat dan lain-lain, yang dilagukan dengan irama tertentu.

Sejarah Kesenian Ludruk

Pada tahun 1994 , group ludruk keliling tinggal 14 group saja. Mereka main di desa desa yang belum mempunyai listrik dengan tarif Rp 350. Group ini didukung oleh 50 . 60 orang pemain. Penghasilan mereka sangat minim yaitu: Rp 1500 s/d 2500 per malam. Bila pertunjukan sepi, terpaksa mengambil uang kas untuk bisa makan di desa. Sewaktu James L Peacok (1963-1964) mengadakan penelitian ludruk di Surabaya tercatat sebanyak 594 group. Menurut Depdikbud propinsi jatim, sesudah tahun 1980 meningkat menjadi 789 group (84/85), 771 group (85/86), 621 group (86/87) dan 525 (8788). Suwito HS, seniman ludruk asal Malang mengatakan tidak lebih dari 500 group karena banyak anggota group yang memiliki keanggotaan sampai lima group. Hasil penelitian Suripan Sadi Hutomo, menurut kamus javanansch Nederduitssch Woordenboek karya Gencke dan T Roorda (1847), Ludruk artinya Grappermaker (badutan). Sumber lain menyatakan ludruk artinya penari wanita dan badhut artinya pelawak di dalam karya WJS Poerwadarminta, Bpe Sastra (1930). Sedangkan menurut S.Wojowasito (1984) bahwa kata badhut sudah dikenal oleh masyarakat jawa timur sejak tahun 760 masehi di masa kerajaan Kanyuruhan Malan dengan rajanya Gjayana, seorang seniman tari yang meninggalkan kenangan berupa candi Badhut.

Ludruk tidak terbentuk begitu saja, tetapi mengalami metamorfosa yang cukup panjang. Kita tidak punya data yang memadai untuk merekonstruksi waktu yang demikian lama, tetapi saudara hendricus Supriyanto mencoba menetapkan berdasarkan nara sumber yang masih hidup sampai tahun 1988, bahwa ludruk sebagai teater rakyat dimulai tahun 1907, oleh pak Santik dari desa Ceweng, Kecamatan Goda kabupaten Jombang. Bermula dari kesenian ngamen yang berisi syair syair dan tabuhan sederhana, pak Santik berteman dengan pak Pono dan Pak Amir berkeliling dari desa ke desa. Pak Pono mengenakan pakaian wanita dan wajahnya dirias coret coretan agar tampak lucu. Dari sinilah penonton melahirkan kata .Wong Lorek.. Akibat variasi dalam bahasa maka kata lorek berubah menjadi kata Lerok.

1.1 Arti Ludruk

Literatur tentang arti ludruk diperoleh dari hasil penelusuran makna kata ludruk berdasrakan studi naskah dan kamus kuno oleh Suripan San Hutomo. Kamus kuno yang pertama kali dipelajari adalah Javanansch Nederduitch Woordenbock karya I.F.G Gencho dan T. Roorda, tahun 1847 dan dicetak ulang pada tahun 1875, 1866 dan terakhir tahun 1901. Pada cetakan terakhir itulah makna kata ludruk diartikan sebagai badut (badhut, jawa). Kemudian kamus karya D. Van Hinloopen Lannerfon, yang dicetak tahun 1900, ludruk juga diartikan badhut.

Selanjutnya kamus karya P. Janes yang dicetak tahun 1913, mengartikan makna ludruk dengan “Badut”. Literatur lain yang ditelusuri yaitu kamus Javaans Nederlands Hand woorden bock, karya Th. Pegeaud menerangkan bahwa makna ludruk adalah : (1) Jembek, Jeblok, Gluprut, (2) a. Badhutan, b. Teater rakyat. Kamus kuno lainnya yang dipelajari adalah Baoe Sastra Djawa yaitu kamus sastra jawa karya W.J.S Poerwodarminto, 1930 yang menjelaskan makna ludruk adalah tledek lanang; badut, dan pada cetakan tahun 1939 ada beberapa perubahan, ludruk diartikan (1) Jemek, Jeblok, (2) a. Badut b, Bangsane Ledek.

2.2 Ciri khas ludruk

Ludruk dikatakan sebagia kesenian khas Jawa Timur, karena ludruk sebagai teater tradisional hadir di tengah-tengah masyarakat tertentu yang memiliki budaya tertentu pula yaitu budaya daerah yang dibina oleh suatu tradisi. Disamping itu ia hadir pula di tengah-tengah kehidupan Indonesia sebagai suatu hamparan kebudayaan yang lebih luas yang membaurkan berbagai macam tradisi. Karena itu teater tradisional pada satu pihak merupakan unsur budaya daerah yang dimiliki masyarakat daerah, tetapi dipihak lain juga merupakan bagian dari kebudayaan Nasional yang lebih luas (M.Atar semi, 1988 : 183). Begitu juga ludruk sebagai kesenian tradisi khas Jawa Timur, hidup dan berakar dalam masyarakat Jawa Timur memilki ciri kedaerahan dan ketradisionalan. Ciri-ciri ketradisionalan itu menurut Umar kayam (1981) antra lain adalah:

1. Memiliki lingkup dan jangkauan terbatas pada lingkungan budaya yang mendukungnya;

2. Berkembang secara perlahan sebagai akibat dari dinamika yang lamban dari masyarakat;

3. Merupakan bagian dari satu “kosmos” kehidupan yang bulat yang tidak terbagi dalam pengkotakan spesialisasi;

4. Tidak merupakan hasil kreativitas individu, tetapi tercipta secara anonym bersama dengan sifat kontektifitas masyarakat yang menunjangnya.

Sedyawati, menyatakan bahwa predikat tradisional itu dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang sesuai dengan tradisi, sesuai dengan kerangka pola bentuk dan penerapan yang selalu berulang (Sedyawati, 1981: 48). Dengan titik tolak pengertian tersebut Henri Supriyanto (1992) merumuskan ciri-ciri khas pertunjukan ludruk sebagai kesenian tradisional adalah sebagai berikut :

1. Pertunjukan ludruk dilakukan dengan secara improvisatoris, secara spontan, dalam arti aktor tidak dipersiapkan terlebih dahulu menghafalkan sebuah naskah.

2. Peran wanita sebagian besar dilakukan oleh laki-laki yang disebut tandak (tandhak, Jawa) ludruk.

3. Dalam setiap pementasan, sealau diiringi musik gamelan berlarsa slendro dan atau pelog

4. Ludruk memiliki ciri nyanyian khas dengan iringan lagu jula-juli yang disebut kidungan (gandhang, Jawa).

5. Dalam setiap pementasan selalu diawali dengan tari pembuka yang disebut tari “ngremo”

6. Setelah tari ngremo dilanjutkan dengan bedayan (bedhayan, Jawa) yang disajikan oleh sejumlah tandak ludruk.

7. Adegan berikutnya adalah lawak atau dagelan yang merupakan adegan humor.

8. Rangkaina puncak dari sebuah pertunjukan ludruk adalah lakon atau cerita.

Lakon-lakon yang dipentaskan biasanya merupakan ekspresi kehidupan rakyat sehari-hari, dengan menggunakan tata busana sederhana menggambarkan kehidupan rakyat jelata. Bahasa yang digunakan biasanya bahasa sehari-hari yaitu bahasa Jawa, Madura dan atau bahasa Indonesia untuk pesan-pesan tertentu.

BAB II PERTUNJUKAN DAN PERKEMBANGAN LUDRUK

2.1 Asal mula ludruk

Untuk mengungkapkan kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan ludruk tidak digunakan kata sejarah, tetapi menggunakan kata asal mula, seperti tulisan Hanung Kus Sudyarsana tentang ketoprak yang tidak menggunakan kata sejarah, (1989). Sebab penggunaan kata sejarah mempunyai konsekuensi ilmiah, artinya pengungkapan sejarah harus melalui suatu proses, seperti harus ada data, melalui metode yang benar dan dianalisa dengan valid, sedang pengungkap kelahiran dan perkembangan ludruk selama ini dalam banyak hal masih berupa pengumpulan informasi saja.

Faktor hambatan utama menurut Henri Supriyanto, (1992) ialah terbatasnya data tertulis, dokumentasi dalam bentuk prasasti atau gambar, karena ludruk tidak dapat direkrontuksi kembali, dia (ludruk) selalu hilang dalam dimensi ruang dan waktu. Ludruk sebagai kesenian khas jawa Timur sampai sekarang belum diketahui kapan lahirnya, hidup di zaman apa, tahun berapa, siapa penciptanya, dan apa tujuannya. Keberadaan ludruk selama ini hanya dapat ditelusuri dari asal usul makna kata ludruk. Terlepas dari segi ilmiah menurut studi asal-usul makna kata ludruk yang ditelusuri oleh Suripan Sadi Hutomo (dalam makalah Temu Wicara Seniman Ludruk se-Jawa Timur, 1993) jika kita menganggap bahwa Serat Centini merupakan ensiklopedia kebudayaan Jawa yang dapat dipercaya, maka yang tampak adalah : Dalam Serat Centini yang di prakasai oleh Paku Buwono V (1820-1823) apa yang dinamakan ludruk sebagai kesenian belum disebut. Namun dalam manuskrip dari pasuruan, Jawa Timur, yang berjudul Babat Ranu Grati yang menganut tradisi Sastra Giri yang dimungkinkan usianya lebih tua dari Serat Centini terdapat kata ludruk Pada tembang pucung pesisiran sebagai berikut : (Suripan, 1993).

Tentandhakan rahino lawan dalu,

Parentahe ke lurah demang,

Supaya kang nyambut kardi,

Amrih bungah maneh kang nyambut karya.

Pan gumuruh gong sruni lawan angklung,

Terbang lawan pencakan,

Memonelan datan kari,

Leludrukan lare lawan tetopengan.

Berdasarkan data tersebut Suripan menyimpulkan bahwa abad ke 17 kata ludruk dalam arti badhut atau bebadhutan telah menjadi kesenian rakyat. Pengertian ini diperkuat oleh kamus kuno Javanansch Nederdiutsch Woordenbach oleh J.F.G. Genke dan T. Roorda, yang mengartikan makna ludruk adalah badhut. Selain badhut, kata ludruk dalam kamus-kamus kuno lainnya berarti bangsane tledhek atau tledhek lanang, maksudnya penari laki-laki yang memakai pakaian wanita atau disebut travesti. Kalau kita menyebut travesti, maka seni ludruk sudah ada sejak tahun 1882 di daerah Gresik (Surabaya) hal ini dilaporkan oleh Jhr. A.D Cornets de Groot dalam statistik van de residentie Grissee Anno 1882. Sedangkan jika kata badhut dalam bahasa jawa kuno diartikan penari, maka pada abad ke 8 masehi kata badhut telah di kenal masyarakat Jawa Timur. Hal ini terbukti dari data sejarah Kerajaan Kanyuruhan (Dinoyo Malang) dimana Raja Gajayana pada masa mudanya adalah seorang penari istana, maka candi peninggalannya adalah candi badhut (Wojowasito, 1964, dalam Henri Supriyanto, 1992).

Dari uraian tersebut jelas bahwa penelusuran keberadaan ludruk cukup rumit, oleh sebab itu penelusuran atau pelacakan asal mula ludruk hanya akan dilakukan berdasrkan data yang ada dalam buku yang kita kelompokkan menurut periodesasi.

2.2 Periodisasi

Terdapat empat periode ludruk, yakni, Ludruk Bandan, Ludruk Lerok, Ludruk Besutan dan Ludruk panggung berupa teater tradisional atau sandiwara rakyat. Massa awal ludruk Jawa Timur dirintis oleh Pak Santik asal kabupaten Jombang. Hal tersebut karena ia mempunyai perawatakan lucu atau mempunyai tingkat humor yang tinggi dan pada tahun 1907 ia memulai bekerja sebagai pengamen dengan membawa iringan musik lisan atau musik mulut. Namun ngamen Pak Santik belum dapat dipertanggung jawabkan datanya, sebab data tersebut hanya berupa hasil musyawarah, bukan merupakan data konkrit berupa tulisan, gambar atau hasil analisis dari suatu penelitian. Untuk itu dalam menguraikan periodesasi ludruk Jawa Timur ini digunakan data tertulis yang dapat dipertanggung jawabkan atau dapat dipercaya kebenarannya yang merupakan hasil penelusuran Suripan sadi hutomo terhadap buku Coments de Groots (1882), R.M.A. Askabul Djajapranata (1930), R. Ahmad Wangsa Sewaya (1930), Th. Pegeaud (1938), C. Poensen (1864, 1866, 1972) dan lain-lain. Hasil penelusuran tersebut adalah sebagai berikut :

1. Periode Ludruk Bandan

Hiburan kesenian ludruk yang pertama kali yaitu dinamakan Ludruk Bandan. Menurut perkiraan Suripan, Ludruk Bandan lahir sekitar abad ke 13 dan abad ke 14, tetapi menurut Ki Soemadji A. Ludruk Bandan lahir sekitar abad ke 12 sampai abad 15 di Jombang. Kesenian yang dipertunjukan dalam ludruk bandan adalah ilmu kesakitan dan ilmu mistis yang bisa juga untuk mengobati orang sakit (Suripan, 1993). Peralatan yang digunakan sebagai musik sangat sederhana yaitu berupa Jedhor, tidak memakai gamelan lengkap.

2. Periode Ludruk Lerok

Ludruk lerok diperkirakan lahir sekitar abad ke 16 sampai abad 18 (peraliahn dari Sultan Agung ke Sunan Mangkurat Mas) di Sidoarjo. Setelah ludruk bandan berakhir. Lalu lahir ludruk lerok, kata lerok menurut suripan dan Ki Soemardjo A. berasal dari kata “Lyra” atau “kalyra” yaitu alat musik sejenis Cemplung/siter atau jenis alat musik yang mirip kecapi. Namun kata ludruk menurut Henri Supriyanto (1992) muncul dikalangan masyarakat Jombang. Berdasarkan analisis linguistik, kata lerok merupakan variasi ujar dari kata lorek. Dikatakan lorek karena para pemain kesenian ini wajahnya dirias model coretan agar tampak lucu dan sulit dikenali wajah yang sebenarnya. Pertunjukan ludruk lerok yang dipertunjukan adalah kekuatan gaib, batin, atau tenaga dalam, dengan memakai iringan musik yang disebut kalyra. Pada ludruk lerok sudah memakai nyayian, kidungan dan atau sendhoan Jawa (suripan, 1993).

3. Periode Ludruk Besutan

Ludruk besut artinya pertunjukan ludruk dengan tokoh utama besut, ludruk besutan menampilkan tiga tokoh panggung, yakni kakang besut, Paman Jamino (Paman Ganda), dan istri besut bernama Asmunah. Iringan musik yang digunakan ialah gamelan laras slendro yang terdiri atas kendang, saron, kempul, gong, siter, dan slentem (Istiadi, 1986 dalam Henri supriyanto, 1992). Pelaku utama pementasan ludruk besutan atau lerok, menggunakan topi merah berkucir (topi ukir) tanpa baju atau berbaju putih dan mengenakan kain panjang putih (bebet putih dalam bahasa jawa). Menjelang sesaji ia menghadap ke empat penjuru arah atau empat kiblat. Setelah pelaku utama menyampaikan sesaji (maksud selamatan), barulah pertunjukan hiburan dimulai. Dengan titik tolak pertunjukan pelaku utamanya memakai kain panjang berwarna putih sebagai lambang kesucian dan bertugas menyampaikan maksud , timbulah akronim besut (mbekto maksud membawa tujuan ) (sartono , 1982, dalam Henri Supriyanto, 1992). Sebelum pementasan didahului dengan serangkaian upacara selamatan, dengan perlengkapan sesaji yang terdiri dari : Suruh ayu, kinangan lengkap dengan daun sirih warna kuning

a) Pisang ayu, pisang raja satu tandan

b) Kain putih (bahasa jawa lawe)

c) Uang logam (dhuit saren, jawa)

Ludruk Besutan lahir antara tahun 1911 M hingga tahun 1931 M. dalam makalah suripan tidak disebutkan kapan lahirnya dan dimana tempatnya, tetapi dalam tulisan Ki Soemardji dijelaskan bahwa dalam cerita Besut yang mencari istrinya Asmunah sampai ke Jombang dan ketemu istrinya di kota tersebut.

4. Periode Ludruk Panggung

Pada tahun 1932 M setelah kesenian ludruk Besut berubah menjadi ludruk stambul jawi yang umumnya hanya kurang lebih satu tahun, lalu muncul ludruk sandiwara atau ludruk panggung. Naming cirri-ciri khas dari ludruk besutan masih digunakan dalam kesenian ludruk sandiwara yaitu (1) tari Ngremo (Jogede ngremo, Jawa); (2) kidungan (gandhangan, jawa); (3) dagelan. Dalam bidang cerita ludruk sandiwara mengambil dari keadaan kehidupan sehari-hari atau mengambil buku-buku cerita roman, drama atau cerita silat. Pada seni ludruk sandiwara menggunakan gamelan lengkap, bahkan awal-awal berdirinya ludruk sandiwara ada group ludruk yang menggunakan alat instrumen trompet, kendang, jedhor, angklung, cemplung (siter kecil), dan gong.

Pada periode ludruk panggung, perkembangannya sangat pesat, banyak berdiri ludruk-ludruk baru di daerah. Ludruk sandiwara yang paling terkenal pada tahun 1930-an adalah ludruk Cak Durasim. Pada periode ludruk Cak Durasim ini kesenian ludruk digunakan sebagai alat perjuangan kemerdekaan. Setelah tahun 1970 kesenian ludruk benar-benar berkembang dan mendapat kesempatan di hati masyarakat Jawa Timur. Ludruk sudah tidak lagi menyuarakan propaganda politik, tetapi sudah merupakan ludruk yang bersifat professional dan independen. Namun, dibalik itu banyak para pengamat menilai bahwa ludruk saat ini terlalu banyak mendapat titipan informasi pembangunan dari pihak sponsor atau pemerintah.

2.3 Fungsi ludruk bagi kehidupan masyarakat

William Bascom. Seorang folklorist terkemuka di Amerika Serikat menunjukan bahwa kesenian tradisional yang berbentuk folklore memiliki empat fungsi yaitu (1) sebagai suatu system proyeksi, (2) sebagai pengesahan/ pernyataan suatu adat kebiasaan kelompok, (3) sebagai alat pendidikan, dan sebagai alat paksaan dan pengendalian sosial. (Bascom, 1955: 292-294 dalam James Danandjaya, 19750. Sementara itu James Danandjaya, menjelaskan bahwa teater rakyat, seperti folklore lisan dan setengah lisan pada umumnya, mempunyai banyak sekali fungsi bagi kehidupan bermasyarakat orang Indonesia. Beberapa diantaranya yang paling umum adalah : (1) sebagai alat pendidikan anggota masyarakat, (2) sebagai alat penebal perasaan solidaritas kolektiva, (3) sebagai alat yang memungkinkan seseorang biasa bertindak dengan penuh kekuasaan terhadap orang menyeleweng, (4) sebagai alat untuk menyalurkan protes terhadap ketidak adilan, (5) memberi kesempatan bagi orang melarikan diri untuk sementara dari kehidupan nyata yang membosankan ke dunia khayalan yang indah, (6) memungkinkan para pemainnya berbuat sesuatu yang pada kehidupan sehari-hari dilarang oleh norma-norma yang berlaku dimasyarakatnya.

1. Ludruk sebagai suatu sistem proyeksi

Ludruk dijadikan sebagi proyeksi angan-angan atau impian dari rakyat jelata, terutama dari gadis desa yang miskin, atau dengan perkataan lain, cerita ini adalah pemuasan impian (wish fulfiment) gadis desa miskin yang diproyeksikan ke dalam bentuk suatu cerita. (Dandandjaya, 1975). Misalnya dalam sebuah cerita/ lakon bawang merah dan bawang putih, dimana dikisahkan seorang gadis desa yang diperlakukan buruk oleh ibu dan saudara tirinya, tetapi karena tawakalnya menerima nasib dengan tenang, pada akhirnya dapat hidup bahagia karena dikawini putra raja. Peristiwa semacam ini didalam kehidupan rakyat tidak mungkin dapat terjadi.

2. Ludruk sebagai suatu pengesahan

Sebagai pengesahan suatu alat kebiasaan, misalnya pada suatu pertunjukan ludruk yang mengandung kegiatan magis biasanya dilakukan pada upacara tertentu. Dan berdasarkan kepercayaan bila tidak dilakukan akan membawa akibat yang tidak diinginkan, karena dianggap melanggar adat dari nenek moyang . contoh terhadap kebiasaan ini adalah serangkaian upacara selamatan sebelum pementasan dimulai, dengan perlengkapan sesaji yang diletakkan di sekitar gamelan, tempat rias pemain/seniman, dipertigaan atau perempatan jalan, di sumur dan lain-lain.

Perlengakapan sesaji terdiri dari : (a) suruh ayu kinangan lengkap seperti tembakau (susur, Jawa), rendaman air kapur, gambir, buah pohon pinang (jambe, jawa) dan daun sirih warna kuning, (b) pisang ayu, yaitu pisang raja satu tandan, (c) kain putih (lawe, Jawa), (d) uang logam (duwet saren).

3. Ludruk sebagai alat pendidikan

Sebagai alat pendidikan kesenian ludruk dapat mengajarkan moral bahwa orang yang sabar dan menerima nasib akan mendapatkan kebahagiaan, kemuliaan dan pahala di kemudian hari. Contoh, dalam cerita ande-ande lumut yang sering dipentaskan kesenian ludruk di desa-desa. Peran cerita prosa rakyat sebagai alat pendidikan ini makin besar bagi anak-anak desa atau kampung yang tidak berkesempatan untuk bersekolah. Orang tua di Jawa akan selalu menceritakan kisah-kisah dari tokoh-tokoh wayang purwa seperti para pandawa dengan maksud agar putra-putra mereka akan meniru kebijaksanaan para tokoh wayang yang sangat mereka kagumi itu. (Danandjaya, 1975). Selain dalam cerita , pendidikan atau nasehat yang disampaikan melalui pertunjukan ludruk bisa melalui kidungan (gandhangan, Jawa).

4. Ludruk sebagai media perjuangan

Pada masa penjajahan, ludruk berperan untuk penanaman jiwa persatuan dan membakar semangat nasional demi kemerdekaan bangsa, sesudah kemerdekaan republik Indonesia tercapai, perjuangan bangsa Indonesia adalah mengisi kemerdekaan dalam bentuk perbaikan ekonomi dan perjuangan untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial masyarakat. (Henri Supriyanto, 1992). Ludruk sebagai media perjuangan pada zaman belanda dan zaman jepang diwujudkan dalam bentuk cerita untung Suropati, Sawunggaling atau dalam bentuk kidungan. Ludruk juga dijadikan sebagai alat perjuangan pada masa kemerdekaan khususnya untuk menebalkan persatuan dan kesatuan serta semangat nasional diwujudkan dalam bentuk kidungan.

5. Ludruk sebagai media pembangunan

Ludruk sebagai media pembangunan diwujudkan dalam bentuk cerita dan atau kidungan. Adapun kidungan ludruk yang difungsikan sebagai media pembangunan pada umumnya adalah kidungan ludruk sesudah zaman Orde Baru. Pada zaman pembangunan ini ludruk mendapat tugas atau yang lebih dikenal dengan “ titipan informasi pembangunan”.

6. Ludruk sebagai alat kritik sosial

Dalam rangka menjaga agar norma-norma yang berlaku di masyarakat dapat dipenuhi, sering ludruk digunakan sebagai alat pengendalian sosial melaui cerita-cerita dan atau kidungan yang berisi tentang penyelewengan terhadap kepatuhan, aturan disiplin, dan lain-lainyang seharusnya tidak boleh dilanggar. Jika ditemui ada anggota masyarakat yang melanggar atau tidak memenuhi aturan /adat yang berlaku, maka ludruk akan mengkritiknya dengan menggunakan cara pasemon atau kritik halus. Sebab kritik yang dilakukan dengan menggunakan pasemon baik melalui cerita maupaun kidungan dapat dilakukan dengan tidak langsung, lebih halus dan lebih mengena dan berwibawa. Sedangkan orang yang dikritik atau yang kena sasaran akan menerima dengan positif, karena pasemon/kritik dilakukan bukan oleh perorangan, melainkan oleh norma-norma tradisi yang telah diakui secara kolektif.

7. Ludruk sebagai pelepas lelah

Ludruk juga member kesempatan bagi seseorang melarikan diri untuk sementara dari kehidupan nyata yang membosankan ke dunia khayalan yang indah (Danandjaya, 1983). Ludruk bisa menjadi hiburan sebagai pelepas lelah seseorang setelah seharian bekerja.

8. Ludruk sebagai pendobrak norma

Ludruk sangat memungkinkan para pemainnya berbuat sesuatu yang pada kehidupan sehari-hari dilarang oleh norma-norma yang berlaku dimasyarakatnya. Didalam semua masyarakat selalu ada beberapa istilah-istilah yang dilarang untuk diucapkan dimuka umum. Tetapi istilah-istilah atau kata-kata tersebut dapat diucapkan denagn tidak disengaja melalui keselio lidah atau dengan sengaja melalui lelucon. Hal ini disebabkan karena yang salah diucapkan itu sebenarnya adalah yang ingin diucapkan, tetapi tidak dapat diucapkan berhubung ada larangan dari masyarakat. Maka para pemain ludruk/dagelan sering memperalat keseleo lidah untuk mengucapkan kata-kata cabul, atau sindiran-sindiran terhadap penguasa, atau membicarakan masalah-masalah masyarakat yang sangat sensitive. Si pemain dapat berbuat begitu, karena ia tahu bahwa ia tidak dapat diminta pertanggung jawabnnya. Demikian halnya dengan memperalat lelucon seorang pemain dapat mengalihkan tanggung jawab pribadinya kepada tradisi. Hal ini disebabkan karena ludruk yang disebut lelucon itu, bukan dianggap sebagai ciptaan si dagelan /pelawak sebagai individu, melainkan cipataan kolektif masyarakat. Sindiran-sindiran yang dilontarkan kepada seseorang atau golongan dari perorangan melainkan dari masyarakat.

9. Ludruk sebagi media sponsor

Ludruk sebagai kesenian tradisi, pada masa sekarang tidak hanya sebagai media hiburan, tetapi juga berfungsi sebagai media sponsor, baik untuk menyampaikan titipan pesan-pesan pembangunan dari pemerintah juga menyampaikan pesan berupa promosi obat-obatan dan atau produk lainnya.

2.4 Struktur Pementasan Ludruk

Struktur pementasan ludruk sejak awal kemerdekaan hingga saat ini tidak mengalami perubahan. Pada dasarnya struktur pementasan ludruk selalu diikuti dari generasi ke generasi secara tradisional, seperti pada acara pembukaan selalu diawali dengan atraksi Tari Ngremo yang merupakan tari khas Jawa Timur. Selesai tari Ngremo dilanjutkan dengan atraksi Bedayan yaitu ataraksi para seniwati bergoyang sambil menyanyi. Adegan berikutnya adalah dagelan yang merupakan salah satu episode dari struktur pementasan yang membawakan adegan humor, yang dibawakan oleh sejumlah pelawak atau dagelan ludruk. Terakhir adalah penyajian lakon atau cerita. Lakon adalah merupakan inti dari seluruh struktur pementasan. Dalam menyajikan lakon biasanya dibagi-bagi dalam bentuk babak, tiap babak dibagi-bagi atas adegan. Biasanya disela-sela babak disajikan atraksi selingan yang dibawakan oleh seniwati untuk menyanyikan sebuah lagu atau mengkidungkan sebuah tembang Jula-juli.

2.5 Kehidupan Seniman Ludruk

Kualitas seorang pemain ludruk lebih banyak ditentukan oleh bakat pribadi atau bakat alam si pemain. Peranan sutradara sangat kurang, karena biasanya sutradara kurang diperhatikan karena para seniman umumnya kurang menghormati posisi masing-masing. Kebiasaan jelek lainnya adalah malas latihan ,waktu kosong sebelum pentas lebih banyak digunkan untuk bermain kartu atau tidur. Bermain ludruk bukan sebagai profesi, tetapi hnya sekedar menyalurkan hobby, menampung kegiatan dan sedikit mencari tambahan penghasilan, akibatnya para seniman ludruk tidak konsisten dan hanya musiman.

Motif yang mendorong seseorang menjadi seniman ludruk sangat variatif, tetapi faktor utama yang mempengaruhi mereka adalah lingkungan. Dimana ada perkumpulan atau dibentuk ludruk baru disitu akan tercetak seniman-seniman ludruk baru. Latara belakang pendidikan mereka rendah, sebagian besar berpendidikan Sekolah Dasar (SD), hanya beberapa orang yang berpendidikan SLTP dan SLTA tambahan pendidikan non formal yang berkaitan dengan seni peran tidak ada. Tingkat kesejahteraan juga rendah, honor bermain berkisar antara Rp. 10.000,- hingga Rp. 30.000 untuk sekali main pada terop, sedangkan untuk honor pertunjukan keliling lebih rendah daripada itu, bahkan tidak dapat honor karena tidak jadi pentas. Oleh sebab itu, para seniman ludruk rata-rata mempunyai pekerjaan lain yang lebih mempunyai nilai ekonomi, seperti sebagai pedagang kecil-kecilan, makelar, buka warung, menjahit, beternak ayam, buka salon, dan lain-lain.

Seniman ludruk dilihat dari garis keturunan, umumnya bukan merupakan seniman keturunan, artinya tidak banyak seniman ludruk lahir dari keluarga seniman. Mereka umumnya berasal dari kelas rendahan (miskin) yang tertarik untuk menjadi seniman ludruk karena terpengaruh lingkungan atau sekedar pelarian diri karena belum memiliki pekerjaan tetap.

Perubahan sosial, politik, ekonomi, budaya dan kepercayaan, dapat berpengaruh terhadap perkembangan kesenian ludruk. Sekarang karena konsekuensi ekonomi, ludruk selalu berusha untuk menyenangkan penonton, apa pun yang dikehendaki penonton dituruti sehingga masyarakat penonton sekarang mendpat kesempatan atau semacam hak untuk ikut mengatur jalannya pertunjukan.

Pada acara tari ngremo wanita, ada kelompok tertentu yang bisa menghentikan sejenak acara itu diubah menjadi acara tayuban, penonton laki-laki yang biasanya masih keluarga dekat atau teman-teman dekat pemilik hajat naik ke panggung ikut menari bersama penari tari ngremo. Sementara para seniman tidak menolak karena takut menghancurkan popularitasnya. Apalagi kompetisi agar group sangat kuat, banyak diantara pemimpin group yang tidak mempunyai hubungan baik terutama antar group ludruk yang laris. Ada banyak cerita dari seniman ludruk mengenai gangguan-gangguan secara magis, seperti semua pemain tiba-tiba sakit perut, jatuh tertidur, kesurupan, tidak bisa ngidung atau gangguan terhadap perlengkapan, dapat berupa mati lampu, hujan lebat, kendang jebol, dan lain-lain. Oleh sebab itu menjelang pentas biasanya pimpina group pergi ke orang pintar (dukun) minta doa keselamatan, sesaji, sembahyang, meditasi membakar kemenyan, kirim bunga ke penjaga alam dan ada yang melakukan kebiasaan menanam ayam hidup-hidup dalam tanah agar penjaga alam tidak menggangu pertunjukannya.

Sebagai seniman ludruk memang tidak lombo (wajar) ada macam-macam cara yang dilakukan untuk kepentingan pribadinya. Ada yang mencari sisikan masean di kuburan, ke dukun, puasa, meditasi, ke tempat-tempat keramat dan lain-lain. Walaupun mereka menganut salah satu agama, tetapi mereka juga masih percaya akan pengaruh roh nenek moyang atau benda-benda sacral dan ilmu gaib.

BAB IV PERMASALAHAN LUDRUK

4.1 Ludruk Tersingkir Jauh ke Pedesaan

Ludruk sebagai kesenian tradisional tumbuh dengan baik di Surabaya, Malang, Mojokerto, Jombang, Blitar, Madiun, Probolinggo, Sidoarjo, Gresik, Kediri, Lumajang, Bondowoso, dan Jember. Namun akhir-akhir ini perkembangan ludruk kurang menguntungkan sebagai komoditi komersial, karena ada kecenderungan kesenian tradisi Jawa Timur ini kurang mendapat sambutan masyarakat. Di lain pihak, untuk menciptakan kesenian ludruk yang berbobot dan berkualitas, banyak masalah dan kendala yang diahadapi, baik secara internal dan eksternal. Kendala internal, selain kekurangan modal, juga masih terlalu sedikitnya tenaga professional dalam dunia peludrukan, baik tenaga pendukung, seperti pemeran pria, wanita (travesti) maupun tenaga kreatif, seperti sutradara, penulis cerita, piñata artistic, dan piñata music gamelan. Adapun kendala eksternal adalah akibat dari semakin berkembangnya televise swasta di tanah air seperti SCTV, RCTI, TPI, AN Teve dan Indosiar yang menawarkan berbagai alternative hiburan. Disamping semakin maraknya tempat-tempat hiburan seperti Karaoke, Diskotik, Pub, dan Klub Malam, sehingga tidak menghernankan jika kesenian tradisional ludrk di perkotaan sepi pengunjung dan akhirnya tidak kerasan mencari penghidupan di kota. Sekarang ludruk terdesak jauh ke daerah pinggiran dan mencari penghidupan diantara masyarakat ekonomi lemah pedesaan sehingga kehidupan kesenian ludruk pun menjadi semakin memprihatinkan.

Lebih lanjut Henri Supriyanto mengatakan bahwa pengunduran ludruk ke desa ini memang bukan tanpa alas an. Dari hari kehari ludruk semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat kota. Ini karena para seniman ludruk tidak pernah membuat lakon baru. Mereka hanya mementaskan lakon-lakon lama yang tidak cukup banyak ragamnya. Apalagi para seniman ludruk umumnya kurang menghormati posisi masing-masing. Mereka umumnya tidak mau diatur teman sendiri, meskipun teman itu ditunjuk sebagai sutradara (Jawa Pos, 28-11-1993). Sepinya gedung kesenian ludruk di kota dapat dibuktikan pada gedung ludruk di Taman hiburan Rakyat (THR) Surabaya yang kini telah beralih fungsi menjadi tempat Diskotek, sungguh sangat disayangkan. Meneurut pengelola gedung THR, Ek. Bambang sidharta, alih fungsi gedung kesenian ludruk karena ludruk sangat sepi penontonnya, dalam semalam rata-rata hanya delapan penonton yang mau membeli karcis, dan itu berarti hanya ada pemasukan Rp. 12.000,00 per malamnya. Sedang di THR ada sedikitnya 90 seniman yang harus dihidupi dan hidup dari pementasan seni tradisional. (Jawa Pos, 24-11-1993). Padahal kalau berkaca pada tahun 70-an ludruk cukup terkenal, menurut hasil survey Lembaga Pedesaan UGM tahun 1974-1975, menunjukan bahwa ludruk Jawa Timur adalah Pertunjukan Tradisional yang paling popular, dengan alas an (1) isi maupun bentuk pertunjukan rakyat tradisional itu berurat akar pada kehidupan local, antara lain bahasanya, ada istiadatnya nilai-nilai yang mencerminkan di dalamnya. (2) Dicerminkan dalam pertunjukan itu struktur, situasi dan kondisi kehidupan yang sangat dekat dengan kepunyaan mereka sehingga sangat komunikatif (Sartono Kartodirjo, 1990 : 178-179).

4.2 Ludruk Diantara Gerak Zaman (masa depan ludruk)

Dinamika dan perkembangan ludruk tidaklah semarak kalau dibandingkan dengan seni lainnya, Ir.T.Loekito Kartono M.A, mengatakan, sepinya gedung-gedung ludruk lebih disebabkan oleh format pengarsitekan gedung ludruk yang kurang tepat. Kemudian ada yang mengatakan akibat dari adanya transformasi budaya, yaitu perubahan orientasi dan harapan masyarakat tidak diikuti oleh kesenian ludruk dengan ide-ide baru yang dapat merangsang masyarakat yang kini mengalami Cultural Shock keterkejutan budaya akibat dari derasnya arus informasi dan desakan pola hidup modernisai. Ludruk saat ini dapat dikatakan mandul inisiatif dan kurang progresif (Kasyanto, Surya, 20 Juli 1991).

Sementara menurut Slamet Rahardjo, rendahnya minat masyarakat pada kesenian tradisional disebabkan oleh dua faktor. Pertama, adanya jenis tontonan baru yang lebih responsif dengan kondisi objektif masyarakat saat ini. Kedua, karena saat ini tengah terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat (Jawa Pos, 17 Oktober 1993).

Begitu juga menurut Teguh Karya bahwa lemahnya antusiasme masyarakat terhadap teater (termasuk teater tradisional) dikarenakan oleh 2 faktor. Pertama, karena semakin beragamnya jenis tontonan yang ditawarkan, dan bergesernya nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Kedua, karena orang teater sendiri kurang mentakbirkan signifikasi teater (Jawa Pos, 24-10-1993).

Jadi para seniman teater khususnya teater ludruk harus mampu memenuhi tantangan zaman, baik dari unsure intern sendiri, maupun kemampuan berdialog dengan Die Lebnewswelt Dunia dimana mereka hidup. Seni tradisional (ludruk) saat ini sudah menjadi kuno dan tidak memiliki daya menantang, padahal penggemar tontonan dewasa ini memerlukan tantangan (bakti Soemato, Jawa Pos, 7-11-1993).

Dari semua pendapat dapat digariskan bahwa faktor penyebab atas berkurangnya minat masyarakat pada kesenian ludruk antara lain ialah :

1. Hiburan film, video, dan televise cenderung menggeser peranan ludruk.

2. Ludruk meyikapi denagn lamban gejolak dan perubahan kota/ zaman.

3. Lakon-lakon yang dipentaskan cenderung lakon-lakon yang telah dikenali masyarakat

4. Sikap tradisional seniman ludruk yang cenderung menganggap ringan peranan lakon yang disajikan

5. Prasarana pementasan ludruk di kota semakin sempit, dan ludruk akhirnya pentas di atas tanah lapang dengan panggung dan bangunan yang bersifat sementara (Henri Supriyanto, 1992 :37).

4.3 Apresiasi dan dukungan Masyarakat

Pendapat dan tanggapan masyarakat mengenai keberadaan ludruk saat ini sangat variatif, tetapi secara umum masyarakat menyatakan ludruk tidak berkembang. Perkembangan jaman tidak diikuti oleh kesenian ludruk dengan ide-ide baru yang sesuai dengan selera dan kebutuhan masyarakat saat ini. Sutradara hanya berpegang pada struktur pementasan yang sama, kurang kreatif dan inovatif. Pertunjukan ludruk kebanyakan merupakan hasil karya sutradara yang tidak dipersiapkan secara matang. Mengenai alur cerita masyarakat menilai runtut, mudah diikuti, tidak berbelit-belit, sederhana, mudah ditebak dan tidak memkasa penonton untuk ikut berpikir apa yang akan terjadi di akhir cerita. Tanggapan masyarakat terhadap bahasa jawa yang diagunakan dalam kidungan maupun dialog dalam cerita, umumnya menyatakan sudah bagus, cocok, merakyat dan mudah ditangkap. Masyarakat hamper semua tidak setuju jika bahasa ludruk dibahasa Indonesiakan, menurut mereka kurang luwes dan tidak njaweni (terkesan Jawa Timuran). Mengenai kostum panggung terkesan kurang diperhatikan dan kurag terawatt, banyak pakaian yang tidak sesuai dengan karakter pembawa peran. Masyarakat mengehendaki pakaian panggung mendapat sentuhan pemikiran dan penggarapan agar ludruk tidak dijauhi penonton. Adapun saran dan harapan penonton, hendaknya ludruk lebih sering diatampilkan baik dalam pertunjukan langsung maupun ditayangkan dalam televise, dengan harapan anak-anak muda akan semakin kenal dan akrab yang akhirnya mencintai kesenian ini. Jangan sampai terjadi anak Jawa Timur tidak kenal dengan kesenian aslinya.

4.4 Upaya-upaya untuk melestarikan kesenian ludruk

Banyak saran dan harapan yang diberikan untuk melestarikan kesenian ludruk, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Masyarakat menyarankan ludruk lebih banyak ditampilkan atau dipentaskan dalam bentuk lomba atau pada even-even lain atas prakasa pribadi group-group ludruk atau atas prakasa pemerintahan dan masyarakat tanpa memperhitungkan untung dan rugi.

2. Karena kesenian ludruk adalah milik masyarakat maka yang menghidupi harus masyarakat, utamanya instansi terkait yang memungkinkan bisa mendukung pagelaran kesenian ludruk, lebih-lebih ada pihak sponsor dari pengusaha yang mau turun tangan demi perbaikan ludruk dan kesejahteraan seniman.

3. Meningkatkan frekuensi atau sering mengadakan pagelaran atau pementasan ludruk agar anak-anak muda akan semakin kenal dan akrab yang akhirnya mencintai kesenian ludruk, jangan sampai anak-anak Jawa Timur tidak tahu kesenian aslinya.

4. Pemerintah harus turun tangan dengan menghidupkan lagi gedung-gedung ludruk yang sudah lama tidak berfungsi, terutama gedung ludruk di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya.

5. Menggarap manajemen ludruk dengan baik, tidak saja pada pengembangan pemain namun lebih jauh pada komponen yang mendukung terselenggaranya pagelaran, baik tata panggung, tata lampu (lighting), sound system, kostum penyutradaraan mauupun promosi.

6. Menciptakan citra baru dan image baru pada masyarakat dengan menyuguhkan pagelaran ludruk yang bagus, tergarap, dan professional ,sehingga masyarakat dari berbagai lapisan tidak malu menonton ludruk yang dahulu terkesan kampungan.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Lemahnya kondisi saat ini karena tidak mampu mengikuti perekembangan jaman, tidak bisa membaca situasi dan kondisi masyarakat, tidak melihat orientasi dan harapan khalayak pemirsa dan tidak peka terhadap gejala sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Jelasnya, para pengelola dan pemain ludruk kering dan mandul gagasan.

Namun kalau memperhatikan keprihatinan ludruk saat ini, agaknya yang belum dimiliki oleh sebagian besar perkumpulan ludruk adalah pengelola dan sutradara plus pemain yan professional. Oleh sebab itu, sebagai langkah awal untuk memperbaiki citra ludruk perlu mencari pengelola dan sutradara plus pemain yang mampu menciptakan ide-ide baru, disamping terus mendorong pengelola, sutradara, dan pemain yang sudah ada agar terus meningkatkan mutu, baik dari segi teknik dekorasi, teknik pemain, teknik pemasaran atau promosi dan managemen yang baik. hal yang juga penting adalah pembinaan dan bimbingan serta bantuan modal dari pihak pemerintah.

Kelangsungan hidup ludruk tidak saja ditentukan oleh pemerintah dan pengelola, tetapi semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun pengelola, sutradara dan pemain ludruk itu sendiri. Bagaimanapun ludruk bisa hidup bila tidak ada penontonnya. Sebaliknya siapa mau menonton jika ludruk hanya dari itu ke itu aja, dan bagaimana ludruk bisa berkembang bila pemerintah tidak peduli atas keberadaanya.

Jelasnya ludruk harus berdiri di atas tiga kaki yaitu pertama pengelola, sutradara, dan pemain yang baik. kedua masyarakat penonton dan ketiga penguasa (pemerintah). Jika slah satu dari tiga kaki tersebut tidak berfungsi, maka ludruk akan jatuh tersungkur seperti sekarang ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Kasemin, Kasiyanto, 1999, “ Ludruk Sebagai Teater Sosial : kajian kritis terhadap kehidupan, peran dan fungsi ludruk sebagai media komunikasi “ Surabaya : Airlangga University press.

H.S, Sunaryo, 1997, “Perkembangan ludruk di Jawa Timur: kajian analisis wacana” Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.

Ahmadi, Mukhsin. 1987, “Aspek kesastraan dalam seri ludruk di Jawa Timur” Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengambangan Bahasa. Departemen P dan K .

Mujianto, 1990, “Penelitian karakterisasi Bahasa Ludruk di Jawa Timur” Jakarta : Depdikbud.

Nurwanti, Yustina Hastrini. 2004, “Ludruk RRI Surabaya masa orde baru (1996-1997) sebagai media komunikasi” Patra-Widya : seni sejarah dan budaya.

2. Artikel Internet

“ Ludruk” (http://id.wikipedia.org/wiki/Ludruk) diunduh hari Senin, 24 Mei 2010.

Syukur. “Analisis Kesenian Ludruk Cak.Syukur – Probolinggo”

(http://www.scribd.com/doc/4634643/Analisis-Kesenian-ludruk-PROBOLINGGO).

“Kesenian Ludruk “ (http://mamamel.multiply.com/reviews/item/1).

Dahlan. “Ludruk” . (http://dahlanforum.wordpress.com/2009/07/29/ludruk/).

Anas. “Ludruk di Surabaya di ambang kepunahan”.

(http://tugupahlawan.com/271/ludruk-di-surabaya-di-ambang-kepunahan/).

Purnomo, Adi . “Menyemarakkan Kembali Ludruk”

“Sejarah Kesenian Loedroek”. (www.surabayacommunity.com).

“Mengenal Kidungan Ludruk Kartolo CS”. (www.averroes.or.id).

Puja. 2008. “Ludruk ; Kesenian dan Perlawanan Kaum Marginal”.

LAMPIRAN GAMBAR

(Gambar Tari Remo, diperagakan sebagai pembuka pementasan Ludruk)

sumber : http://tugupahlawan.com/271/ludruk-di-surabaya-di-ambang-kepunahan/

Gambar dagelan (atraksi para seniwati bergoyang sambil menari) dan seperangkat alat musik gamelan

sumber : http://tugupahlawan.com/271/ludruk-di-surabaya-di-ambang-kepunahan/

Safeguarding Heritage

Ratmi Agustina

0806322275

FIB/ Ilmu Perpustakaan dan Informasi ( Kelas B)

Usaha Perlindungan warisan budaya, melindungi Hak intelektual dan menghormati kepentingan masyarakat adat: apa peran museum, arsip dan perpustakaan ?

Pengantar
Museum, Arsip / Tempat penyimpanan dokumen, perpustakaan, Ahli antropologi, sejarawan seni dan ahli Bangsa-Bangsa memainkan peran yang sangat berharga dalam melestarikan warisan budaya yang kaya dari planet luar. Dengan mencatat dan membuat musik yang ada, seni, pengetahuan dan tradisi masyarakat adat, lembaga-lembaga dan peneliti membantu untuk menyebarkan pemahaman yang lebih luas dan menghormati budaya yang berbeda.

Inisiatif baru untuk mendigitalkan dan membuat luas seluruh perpustakaan yang ada dan warisan budaya lainnya dan koleksi sejarah terus berjanji mempromosikan pertukaran kebudayaan dan keanekaragaman;, museum, perpustakaan dan layanan/jasa arsip; kemajuan ilmiah dan ilmiah; kesempatan pendidikan, dan, kreativitas.

Dengan kata lain, proses pelestarian ekspresi budaya tradisional dapat memicu keprihatinan mengenai kurangnya perlindungan hukum terhadap penyalahgunaan dan penyelewengan.
Hal ini menimbulkan keprihatinan untuk mencari pertanyaan tentang praktek, kebijakan dan undang-undang yang mengatur akses, kepemilikan dan kontrol atas koleksi yang ditempatkan di museum-museum, perpustakaan dan arsip dan bagaimana menanggapi kebutuhan dan kepentingan masyarakat adat. Masalah IP dapat terjadi pada setiap tahap koleksi, katalog, inventarisasi, pencatatan, penyajian, dan penggunaan kembali bahan budaya oleh lembaga warisan budaya dan spesialis. Sementara teknologi baru menawarkan kemungkinan-kemungkinan yang menarik untuk meningkatkan akses dan lebih baik melestarikan koleksi etnografi, keprihatinan atas akses, kepemilikan, dan kontrol bahkan menjadi lebih mendesak sebagai museum dan lembaga lainnya yang mendirikan perpustakaan digital dari koleksi mereka.

The World Intellectual Property Organization (WIPO) melakukan Proyek di daerah ini yang bertujuan untuk mengembangkan pedoman yang berkaitan dengan IP, "praktek terbaik" dan model perjanjian yang terkait dengan pengamanan warisan budaya.

Memperjelas isu IP dan pilihan dalam kaitannya untuk menjaga warisan budaya, dengan keterlibatan museum, arsip, masyarakat adat dan stakeholder lain, bisa memperkuat sinergi antara perlindungan dokumentasi budaya dan pelestariannya, meningkatkan rasa hormat terhadap budaya tradisional dan mempromosikan lebih luas, aman dan pertukaran adil ekspresi budaya antara masyarakat dan komunitas budaya yang kaya dan dunia yang beragam.

Makalah ini melaporkan secara singkat pekerjaan yang sedang berlangsung di WIPO tentang perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya terhadap penyelewengan dan penyalahgunaan, dan kedua menjelaskan beberapa keprihatinan masyarakat adat yang telah diekspresikan mengenai penelitian dan pencatatan dan penyajian budaya mereka. Makalah ini kemudian menyarankan untuk mendiskusikan beberapa pertanyaan dan isu-isu yang berkaitan dengan strategi IP bahwa museum dan lembaga-lembaga lain yang mungkin ingin mempertimbangkan. Makalah ini memberikan informasi lebih lanjut tentang proyek WIPO yang disebutkan di atas, dan menyimpulkan dengan harapan bahwa ICOM-ICME menyumbangkan keahlian dan pengalaman besar untuk proyek ini.

Perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya terhadap penyelewengan dan penyalahgunaan :Sebuah gambaran singkat mengenai pekerjaan WIPO

Adat dan tradisional lain dan budaya masyarakat berpendapat bahwa kreativitas dan ekspresi budaya tradisional membutuhkan perlindungan yang lebih besar dalam kaitannya dengan kekayaan intelektual (IP). Mereka menyebutkan berbagai macam contoh: seni adat yang disalin ke karpet, baju dan kartu ucapan selamat; musik tradisional yang berpadu dengan irama tari techno-rumah untuk menghasilkan produksi yang terbaik "musik dunia" album; perempuan karpet dan kerajinan tangan yang disalin dan dijual sebagai "otentik"; proses untuk membuat sebuah alat musik tradisional dipatenkan; kata-kata adat dan nama merek dagang dan digunakan secara komersial, dan kurangnya kontrol adat atas penelitian dan dokumentasi dan penyajian budaya adat.

WIPO pertama memulai memeriksa hubungan antara IP dan perlindungan, promosi dan pelestarian ekspresi budaya tradisional / ekspresi dari cerita rakyat (TCEs) beberapa dekade yang lalu. Ia memiliki program yang berkelanjutan dan program aktif pengembangan kebijakan, bantuan legislatif dan peningkatan kapasitas di daerah ini, dalam koordinasi yang erat dengan pekerjaan paralel pada pengetahuan tradisional dan mengetahui bagaimana (TK). Kebijakan pembangunan dan norma bangunan terjadi terutama dalam lingkup Komite Antar Pemerintah WIPO Kekayaan Intelektual dan Sumber Daya genetik, Pengetahuan Tradisional dan cerita rakyat (Komite Antar Pemerintah).

Dalam konteks ini, "ekspresi budaya tradisional" pada umumnya mengacu pada setiap bentuk, apakah berwujud dan tidak berwujud, di mana budaya tradisional dan pengetahuan disajikan, terlihat atau menyatakan, dan yang mana :

(A)Produk dari aktivitas kreatif intelektual, termasuk kreativitas individu dan komunal,

(B)Karakteristik budaya masyarakat dan identitas sosial dan warisan budaya;
(C) Merawat, menggunakan atau dikembangkan oleh komunitas tersebut, atau oleh individu-individu yang memiliki hak atau tanggung jawab untuk melakukannya sesuai dengan hukum adat dan praktek-praktek masyarakat.

Hubungan antara IP dan TCEs menimbulkan masalah yang kompleks dan menantang. Ekspresi budaya tradisional / cerita rakyat mengidentifikasi dan mencerminkan nilai-nilai, tradisi dan kepercayaan masyarakat adat dan masyarakat lainnya. Ekspresi budaya tradisional, produk antar generasi dan cairan sosial dan proses kreatif komunal, mewujudkan masyarakat sejarah, budaya dan identifikasi sosial, dan nilai-nilai. Sementara kebohongan di jantung masyarakat mengidentifikasi, warisan budaya juga "hidup"-itu terus diciptakan sebagai seniman tradisional dan praktisi membawa perspektif segar untuk pekerjaan mereka. Tradisi ini tidak hanya tentang imitasi dan reproduksi, namun juga tentang inovasi dan penciptaan dalam kerangka tradisional. Oleh karena itu, kreativitas tradisional ditandai oleh interaksi dinamis antara kolektif dan kreativitas individu. Tantangan multikulturalisme dan keanekaragaman budaya, khususnya dalam masyarakat dengan masyarakat baik pribumi dan imigran, memerlukan polities budaya untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan dan pelestarian ekspresi budaya tradisional atau lainnya dan pertukaran bebas dari pengalaman budaya. Tantangan selanjutnya adalah untuk menyeimbangkan keinginan untuk melestarikan budaya tradisional dengan keinginan untuk merangsang kreativitas berbasis tradisional sebagai kontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan.

Mengatasi tantangan ini menimbulkan beberapa pertanyaan mendalam, seperti: (i) kepada siapa, jika siapa pun, melakukan atau harus pengetahuan tradisional dan ekspresi atau kreativitas mestinya sebagai milik pribadi (termasuk properti kolektif atau komunal); (ii) apa yang membuat pengetahuan atau ekspresi budaya "asli" atau "tradisional"; (iii) siapa, jika seseorang, dapat atau harus menikmati hak eksklusif untuk mengeksploitasi secara komersial yang tidak berwujud tradisional mengetahui bagaimana dan kreativitas?; (iv) harus ada mekanisme dan penyelesaian hukum terhadap merendahkan, menghina penggunaan ofensif, atau derivasi dari, ekspresi budaya tradisional, (v) bagaimana seharusnya pernyataan kepemilikan eksklusif dan didamaikan dengan pendekatan kebijakan seimbang yang mendorong pertukaran budaya?, meningkatkan kreativitas dan pengembangan budaya, dan melayani tujuan-tujuan yang sah lainnya seperti penelitian dan pendidikan; (vi?) bagaimana mekanisme IP berfungsi untuk melengkapi inisiatif di bidang terkait lainnya, seperti pengamanan warisan budaya dan konservasi keanekaragaman hayati?, dan, (vii) apa saja batas-batas yang sesuai dan peran “masyarakat domain "?

Konsep instrumen dalam diskusi

Sesi yang lebih baru dari Intergovernmental Committee yang ditunjuk sebelumnya telah memeriksa rancangan prinsip-prinsip dan tujuan yang bisa membentuk sui generis instrumen pada TK dan TCEs. Pendekatan ini bisa mengenali perlindungan, antara lain, kepentingan kolektif dalam tradisional mengetahui bagaimana dan ekspresi budaya tradisional dimana "karakteristik" dari sebuah identitas budaya yang berbeda. Hal ini akan dihormati selama komunitas tradisional terus dikaitkan dengan pengetahuan atau ekspresi budaya.

Konsep ini termasuk diantara unsur-unsur seperti tujuan mereka mengakui bahwa masyarakat adat dan komunitas adat dan budaya lain mempertimbangkan warisan budaya mereka untuk penyelewengan dan penyalahgunaan budaya tradisional, pemberdayaan masyarakat, mendukung praktek adat dan kerjasama masyarakat, memberikan kontribusi untuk menjaga budaya tradisional, mendorong inovasi dan kreativitas masyarakat, mempromosikan kebebasan intelektual dan artistik, penelitian dan pertukaran kebudayaan, menyumbang keragaman budaya, mempromosikan pembangunan masyarakat, menghalangi hak-hak IP yang tidak sah dan meningkatkan kepastian, transparansi dan saling percaya.

Ketentuan konsep WIPO Itu dimaksudkan untuk "melengkapi dan bekerja sama dengan undang-undang dan langkah-langkah untuk pelestarian dan pengamanan warisan budaya."

Warisan budaya penelitian dan dokumentasi: kebutuhan dan harapan masyarakat adat.

Masyarakat adat menyebutkan banyak kasus-kasus di mana pengguna komersial telah mengeksploitasi koleksi warisan budaya tanpa mencari persetujuan dari masyarakat yang relevan, apalagi mengakui atau berbagi manfaat sumber komersial. Sebagai contoh beberapa album musik populer dunia telah memasukkan sampel musik tradisional yang awalnya telah dicatat dan terbuka untuk umum tersedia untuk tujuan pelestarian warisan. Hal ini dapat terjadi karena "public domain " karakter TCEs, yang merupakan subjek kritik terutama oleh masyarakat adat.

Selain itu, perwakilan masyarakat adat menyatakan bahwa masyarakat adat tidak memiliki kontrol atas penelitian yang dilakukan ke dalam budaya mereka, tidak lebih dari bagaimana budaya mereka dicatat dan disajikan kepada publik luas. Penanganan bahan rahasia dan sakral dalam koleksi tersebut dapat menjadi sumber keprihatinan khususnya akut. Koleksi etnografi museum dan lembaga-lembaga lain sering termasuk yang tak ternilai, bahkan unik, catatan tradisi kuno, kehilangan bahasa dan sejarah masyarakat yang penting untuk identitas masyarakat adat.

Deklarasi adat dan bahan lainnya disiapkan oleh negara-negara perwakilan masyarakat adat dimana masyarakat adat menganggap diri mereka sebagai "penjaga utama dan interpreter budaya mereka, seni dan ilmu pengetahuan, apakah dibuat di masa lalu, atau dikembangkan oleh mereka di masa depan", dan mereka minta pengakuan hak-hak mereka untuk mengontrol, olahraga melalui sebuah hak untuk "bebas, lebih dulu dan persetujuan yang di informasikan ", akses dan penggunaan budaya dan milik intelektual, untuk mencegah yang menghina, menyinggung dan salah menggunakan ekspresi budaya mereka dan untuk berbagi manfaat dari penggunaan komersial karena itu, termasuk hak untuk menegosiasikan persyaratan penggunaan tersebut.

Dalam kata-kata ahli adat Henrietta Fourmille, (Pusat Sejarah Adat dan seni, Universitas Australia Barat), inti masalah dari perspektif adat bahwa "Informasi yang dikumpulkan tentang kami sama sekali tidak dimiliki oleh kami."

Ada kasus lain di mana rekaman karya seni tradisional, dan latihan hak IP dalam rekaman itu, terbukti cara yang paling efektif untuk melindungi karya asli dari penggunaan yang tidak sah. Sebagai contoh, di Australia pada tahun 1997, t-shirt mulai muncul di pasar menggambarkan gambar dari lukisan batu asli ditemukan di daerah Deaf Added Creek. Gambar-gambar seni batu, sementara kuno, masih sangat penting bagi kehidupan adat Australia dan kebiasaan. Seniman asli tidak dikenal. Dan seni batu sudah sangat tua karena hak cipta akan berakhir. Jadi kelompok kustodian pribumi tidak memiliki obat yang dilindungi hak cipta terhadap t-shirt manufaktur. Namun, gambar dan foto-foto gambar seni batu telah diterbitkan dalam sebuah penelitian oleh peneliti yang didanai oleh Australian Institute Aboriginal Studies, Eric Brandl, pada tahun 1973, sehingga menciptakan hak cipta baru. Dari publikasi ini ternyata produksi t-shirt rupanya telah menyalin gambar. Dengan bantuan dari Lembaga dan keluarga Brandl, kelompok adat bisa mendapatkan perusahaan t-shirt untuk menghentikan produksi, mengklaim pelanggaran hak cipta dalam gambar Brandl dan foto.

Peran museum, arsip dan perpustakaan

Banyak lembaga dan badan profesional sedang mengembangkan protokol etika dan kebijakan untuk melengkapi hukum dan lebih menjawab kebutuhan adat. Secara praktis, beberapa isu yang dapat dibahas lebih lanjut mungkin mencakup:

1.Museum memegang hak IP dalam koleksi:

a) Bagaimana seorang manajer museum, latihan dan lisensi hak-hak (seperti hak cipta dan hak terkait di foto, rekaman suara dan salinan digital) dapat signifikan. Dimana museum menghibahkan akses ke materi sehingga mereka dapat menyalin, atau lisensi 'kepada pihak eksternal untuk menghasilkan suatu produk derivatif seperti kalender atau rekaman suara, museum harus memastikan, misalnya, pengakuan yang tepat dari sumber masyarakat, bahwa bahan yang digunakan dalam cara menghormati komunitas-komunitas nilai-nilai budaya, dan komunitas berbagi manfaat yang timbul dari penggunaan bahan tersebut;

b) Ditugaskan atau bahkan berbagi hak IP mungkin fasilitas masyarakat berdasarkan perkembangan proyek-proyek pembangunan yang berbasis di mana masyarakat bisa melaksanakan hak membela diri untuk mencegah penyalahgunaan ekspresi budaya atau positif untuk mencegah penyalahgunakan ekspresi budaya atau eksploitasi positif mereka. Ketepatan Manajemen hak IP, dikombinasikan dengan tindakan perlindungan seperti alat-alat teknologi enkripsi, mungkin memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi langsung dalam mengatur akses ke bahan-bahan budaya, terutama untuk bahan suci dan rahasia, sesuai dengan nilai-nilai yang lazim;

c) harus atau bisakah museum bermain dalam meningkatkan kesadaran di antara sumber masyarakat sebagai IP dan kepentingan mereka yang terkait IP.

2. Selanjutnya, untuk tujuan keluar atau yang lebih baru dan muncul sistem sui generis perlindungan ekspresi budaya tradisional dan pengetahuan:

a) Mungkinkah persediaan, database dan katalog yang didirikan oleh museum, arsip, dan perpustakaan menjadi sumber informasi yang bermanfaat, misalnya, mengidentifikasi penerima manfaat perlindungan tersebut, memberikan informasi tentang sistem hukum adat yang berlaku dan lembaga-lembaga dan / atau membantu mengidentifikasi penggunaan bahan tradisional yang mungkin dianggap sebagai budaya menyinggung masyarakat yang bersangkutan (ini tidak berarti bahwa museum akan bertindak sebagai penengah atau mediator dalam perselisihan, tapi lebih karena catatan mereka, katalog dan dokumentasi mungkin menjadi sumber informasi yang bermanfaat bagi mereka yang memang harus membacasandi pada isu-isu tersebut, terutama jika catatan tersebut dikompilasi dengan kemungkinan ini dalam pikiran);

b) Dalam hal perlindungan ekspresi budaya tradisional tergantung pada hal yang terdaftar dengan beberapa atau kantor lainnya, bisakah museum dan arsip sendiri bertindak sebagai pendaftar tersebut dan membantu dalam pengelolaan hak-hak yang relevan?

Ini tentu saja ide-ide awal yang hanya untuk diskusi dan membutuhkan lebih banyak pemikiran.

Proyek WIPO

WIPO melaksanakan proyek untuk memenuhi kebutuhan yang banyak diungkapkan untuk informasi teknis dan berbagi pengalaman dalam masalah ini.

Langkah pertama dalam proyek ini adalah koleksi dalam database yang dapat diakses publik dari panduan, kode etik, protokol dan perjanjian standar yang digunakan oleh museum, arsip, perpustakaan, dan peneliti dari seluruh dunia.

Database bisa berfungsi sebagai sumber daya untuk mereka yang tertarik untuk belajar budaya lembaga-lembaga, asosiasi dan peneliti yang menangani isu-isu IP seperti rekaman mereka, katalog, persediaan, penyebarkan, hadir dan kembali menggunakan bahan budaya.

Koleksi bahan empiris dan praktik saat ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk penyulingan praktik IP terbaik yang berhubungan dan mengembangkan daftar IP yang diperiksa terkait, pedoman dan kesepakatan model untuk museum, arsip, perpustakaan, dan peneliti. Jika akan ada bunga di antara museum, langkah berikutnya lebih lanjut bisa menyusunan panduan hak cipta untuk museum dan lembaga-lembaga seperti lainnya.

Pekerjaan tersebut tentu membutuhkan keterlibatan aktif dari semua pemangku kepentingan: museum dan lembaga lainnya; penelitian, masyarakat adat; badan profesional; pengacara IP, untuk hanya beberapa nama.

Sumber daya tersebut dapat memberi manfaat bagi lembaga dalam membangun persediaan dari warisan budaya tak berwujud, sebagaimana yang disediakan sesuai dengan yang baru saja diadopsi UNESCO Convention on Safeguarding Intangible Cultural Heritage. The UN Permanent Forum on Indigenous Issues telah merekomendasikan perkembangan dari jenis sumber daya.

Penutup

Memperjelas isu IP yang relevan dan pilihan, bersama dengan museum, arsip, komunitas dan stakeholder lainnya, bisa berkontribusi untuk mewujudkan janji mempromosikan kreativitas dan pembangunan ekonomi, museum dan layanan arsip, kemajuan ilmu pengetahuan dan ilmiah dan kesempatan pendidikan. Keterlibatan instansi terkait dan badan-badan profesional adalah kuncinya.

Diharapkan bahwa ICOM-ICME akan berpartisipasi dalam pekerjaan ini dan memberikan kontribusi besar keahlian dan pengalaman.

Tugas Preservasi

Ratmi Agustina 0806322275 FIB/ Ilmu Perpustakaan dan Informasi ( Kelas B) Usaha Perlindungan warisan budaya, melindungi Hak intelektual dan menghormati kepentingan masyarakat adat: apa peran museum, arsip dan perpustakaan ? Pengantar Museum, Arsip / Tempat penyimpanan dokumen, perpustakaan, Ahli antropologi, sejarawan seni dan ahli Bangsa-Bangsa memainkan peran yang sangat berharga dalam melestarikan warisan budaya yang kaya dari planet luar. Dengan mencatat dan membuat musik yang ada, seni, pengetahuan dan tradisi masyarakat adat, lembaga-lembaga dan peneliti membantu untuk menyebarkan pemahaman yang lebih luas dan menghormati budaya yang berbeda. Inisiatif baru untuk mendigitalkan dan membuat luas seluruh perpustakaan yang ada dan warisan budaya lainnya dan koleksi sejarah terus berjanji mempromosikan pertukaran kebudayaan dan keanekaragaman;, museum, perpustakaan dan layanan/jasa arsip; kemajuan ilmiah dan ilmiah; kesempatan pendidikan, dan, kreativitas. Dengan kata lain, proses pelestarian ekspresi budaya tradisional dapat memicu keprihatinan mengenai kurangnya perlindungan hukum terhadap penyalahgunaan dan penyelewengan. Hal ini menimbulkan keprihatinan untuk mencari pertanyaan tentang praktek, kebijakan dan undang-undang yang mengatur akses, kepemilikan dan kontrol atas koleksi yang ditempatkan di museum-museum, perpustakaan dan arsip dan bagaimana menanggapi kebutuhan dan kepentingan masyarakat adat. Masalah IP dapat terjadi pada setiap tahap koleksi, katalog, inventarisasi, pencatatan, penyajian, dan penggunaan kembali bahan budaya oleh lembaga warisan budaya dan spesialis. Sementara teknologi baru menawarkan kemungkinan-kemungkinan yang menarik untuk meningkatkan akses dan lebih baik melestarikan koleksi etnografi, keprihatinan atas akses, kepemilikan, dan kontrol bahkan menjadi lebih mendesak sebagai museum dan lembaga lainnya yang mendirikan perpustakaan digital dari koleksi mereka. The World Intellectual Property Organization (WIPO) melakukan Proyek di daerah ini yang bertujuan untuk mengembangkan pedoman yang berkaitan dengan IP, "praktek terbaik" dan model perjanjian yang terkait dengan pengamanan warisan budaya. Memperjelas isu IP dan pilihan dalam kaitannya untuk menjaga warisan budaya, dengan keterlibatan museum, arsip, masyarakat adat dan stakeholder lain, bisa memperkuat sinergi antara perlindungan dokumentasi budaya dan pelestariannya, meningkatkan rasa hormat terhadap budaya tradisional dan mempromosikan lebih luas, aman dan pertukaran adil ekspresi budaya antara masyarakat dan komunitas budaya yang kaya dan dunia yang beragam. Makalah ini melaporkan secara singkat pekerjaan yang sedang berlangsung di WIPO tentang perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya terhadap penyelewengan dan penyalahgunaan, dan kedua menjelaskan beberapa keprihatinan masyarakat adat yang telah diekspresikan mengenai penelitian dan pencatatan dan penyajian budaya mereka. Makalah ini kemudian menyarankan untuk mendiskusikan beberapa pertanyaan dan isu-isu yang berkaitan dengan strategi IP bahwa museum dan lembaga-lembaga lain yang mungkin ingin mempertimbangkan. Makalah ini memberikan informasi lebih lanjut tentang proyek WIPO yang disebutkan di atas, dan menyimpulkan dengan harapan bahwa ICOM-ICME menyumbangkan keahlian dan pengalaman besar untuk proyek ini. Perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya terhadap penyelewengan dan penyalahgunaan :Sebuah gambaran singkat mengenai pekerjaan WIPO Adat dan tradisional lain dan budaya masyarakat berpendapat bahwa kreativitas dan ekspresi budaya tradisional membutuhkan perlindungan yang lebih besar dalam kaitannya dengan kekayaan intelektual (IP). Mereka menyebutkan berbagai macam contoh: seni adat yang disalin ke karpet, baju dan kartu ucapan selamat; musik tradisional yang berpadu dengan irama tari techno-rumah untuk menghasilkan produksi yang terbaik "musik dunia" album; perempuan karpet dan kerajinan tangan yang disalin dan dijual sebagai "otentik"; proses untuk membuat sebuah alat musik tradisional dipatenkan; kata-kata adat dan nama merek dagang dan digunakan secara komersial, dan kurangnya kontrol adat atas penelitian dan dokumentasi dan penyajian budaya adat. WIPO pertama memulai memeriksa hubungan antara IP dan perlindungan, promosi dan pelestarian ekspresi budaya tradisional / ekspresi dari cerita rakyat (TCEs) beberapa dekade yang lalu. Ia memiliki program yang berkelanjutan dan program aktif pengembangan kebijakan, bantuan legislatif dan peningkatan kapasitas di daerah ini, dalam koordinasi yang erat dengan pekerjaan paralel pada pengetahuan tradisional dan mengetahui bagaimana (TK). Kebijakan pembangunan dan norma bangunan terjadi terutama dalam lingkup Komite Antar Pemerintah WIPO Kekayaan Intelektual dan Sumber Daya genetik, Pengetahuan Tradisional dan cerita rakyat (Komite Antar Pemerintah). Dalam konteks ini, "ekspresi budaya tradisional" pada umumnya mengacu pada setiap bentuk, apakah berwujud dan tidak berwujud, di mana budaya tradisional dan pengetahuan disajikan, terlihat atau menyatakan, dan yang mana : (A)Produk dari aktivitas kreatif intelektual, termasuk kreativitas individu dan komunal, (B)Karakteristik budaya masyarakat dan identitas sosial dan warisan budaya; (C) Merawat, menggunakan atau dikembangkan oleh komunitas tersebut, atau oleh individu-individu yang memiliki hak atau tanggung jawab untuk melakukannya sesuai dengan hukum adat dan praktek-praktek masyarakat. Hubungan antara IP dan TCEs menimbulkan masalah yang kompleks dan menantang. Ekspresi budaya tradisional / cerita rakyat mengidentifikasi dan mencerminkan nilai-nilai, tradisi dan kepercayaan masyarakat adat dan masyarakat lainnya. Ekspresi budaya tradisional, produk antar generasi dan cairan sosial dan proses kreatif komunal, mewujudkan masyarakat sejarah, budaya dan identifikasi sosial, dan nilai-nilai. Sementara kebohongan di jantung masyarakat mengidentifikasi, warisan budaya juga "hidup"-itu terus diciptakan sebagai seniman tradisional dan praktisi membawa perspektif segar untuk pekerjaan mereka. Tradisi ini tidak hanya tentang imitasi dan reproduksi, namun juga tentang inovasi dan penciptaan dalam kerangka tradisional. Oleh karena itu, kreativitas tradisional ditandai oleh interaksi dinamis antara kolektif dan kreativitas individu. Tantangan multikulturalisme dan keanekaragaman budaya, khususnya dalam masyarakat dengan masyarakat baik pribumi dan imigran, memerlukan polities budaya untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan dan pelestarian ekspresi budaya tradisional atau lainnya dan pertukaran bebas dari pengalaman budaya. Tantangan selanjutnya adalah untuk menyeimbangkan keinginan untuk melestarikan budaya tradisional dengan keinginan untuk merangsang kreativitas berbasis tradisional sebagai kontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan. Mengatasi tantangan ini menimbulkan beberapa pertanyaan mendalam, seperti: (i) kepada siapa, jika siapa pun, melakukan atau harus pengetahuan tradisional dan ekspresi atau kreativitas mestinya sebagai milik pribadi (termasuk properti kolektif atau komunal); (ii) apa yang membuat pengetahuan atau ekspresi budaya "asli" atau "tradisional"; (iii) siapa, jika seseorang, dapat atau harus menikmati hak eksklusif untuk mengeksploitasi secara komersial yang tidak berwujud tradisional mengetahui bagaimana dan kreativitas?; (iv) harus ada mekanisme dan penyelesaian hukum terhadap merendahkan, menghina penggunaan ofensif, atau derivasi dari, ekspresi budaya tradisional, (v) bagaimana seharusnya pernyataan kepemilikan eksklusif dan didamaikan dengan pendekatan kebijakan seimbang yang mendorong pertukaran budaya?, meningkatkan kreativitas dan pengembangan budaya, dan melayani tujuan-tujuan yang sah lainnya seperti penelitian dan pendidikan; (vi?) bagaimana mekanisme IP berfungsi untuk melengkapi inisiatif di bidang terkait lainnya, seperti pengamanan warisan budaya dan konservasi keanekaragaman hayati?, dan, (vii) apa saja batas-batas yang sesuai dan peran “masyarakat domain "? Konsep instrumen dalam diskusi Sesi yang lebih baru dari Intergovernmental Committee yang ditunjuk sebelumnya telah memeriksa rancangan prinsip-prinsip dan tujuan yang bisa membentuk sui generis instrumen pada TK dan TCEs. Pendekatan ini bisa mengenali perlindungan, antara lain, kepentingan kolektif dalam tradisional mengetahui bagaimana dan ekspresi budaya tradisional dimana "karakteristik" dari sebuah identitas budaya yang berbeda. Hal ini akan dihormati selama komunitas tradisional terus dikaitkan dengan pengetahuan atau ekspresi budaya. Konsep ini termasuk diantara unsur-unsur seperti tujuan mereka mengakui bahwa masyarakat adat dan komunitas adat dan budaya lain mempertimbangkan warisan budaya mereka untuk penyelewengan dan penyalahgunaan budaya tradisional, pemberdayaan masyarakat, mendukung praktek adat dan kerjasama masyarakat, memberikan kontribusi untuk menjaga budaya tradisional, mendorong inovasi dan kreativitas masyarakat, mempromosikan kebebasan intelektual dan artistik, penelitian dan pertukaran kebudayaan, menyumbang keragaman budaya, mempromosikan pembangunan masyarakat, menghalangi hak-hak IP yang tidak sah dan meningkatkan kepastian, transparansi dan saling percaya. Ketentuan konsep WIPO Itu dimaksudkan untuk "melengkapi dan bekerja sama dengan undang-undang dan langkah-langkah untuk pelestarian dan pengamanan warisan budaya." Warisan budaya penelitian dan dokumentasi: kebutuhan dan harapan masyarakat adat. Masyarakat adat menyebutkan banyak kasus-kasus di mana pengguna komersial telah mengeksploitasi koleksi warisan budaya tanpa mencari persetujuan dari masyarakat yang relevan, apalagi mengakui atau berbagi manfaat sumber komersial. Sebagai contoh beberapa album musik populer dunia telah memasukkan sampel musik tradisional yang awalnya telah dicatat dan terbuka untuk umum tersedia untuk tujuan pelestarian warisan. Hal ini dapat terjadi karena "public domain " karakter TCEs, yang merupakan subjek kritik terutama oleh masyarakat adat. Selain itu, perwakilan masyarakat adat menyatakan bahwa masyarakat adat tidak memiliki kontrol atas penelitian yang dilakukan ke dalam budaya mereka, tidak lebih dari bagaimana budaya mereka dicatat dan disajikan kepada publik luas. Penanganan bahan rahasia dan sakral dalam koleksi tersebut dapat menjadi sumber keprihatinan khususnya akut. Koleksi etnografi museum dan lembaga-lembaga lain sering termasuk yang tak ternilai, bahkan unik, catatan tradisi kuno, kehilangan bahasa dan sejarah masyarakat yang penting untuk identitas masyarakat adat. Deklarasi adat dan bahan lainnya disiapkan oleh negara-negara perwakilan masyarakat adat dimana masyarakat adat menganggap diri mereka sebagai "penjaga utama dan interpreter budaya mereka, seni dan ilmu pengetahuan, apakah dibuat di masa lalu, atau dikembangkan oleh mereka di masa depan", dan mereka minta pengakuan hak-hak mereka untuk mengontrol, olahraga melalui sebuah hak untuk "bebas, lebih dulu dan persetujuan yang di informasikan ", akses dan penggunaan budaya dan milik intelektual, untuk mencegah yang menghina, menyinggung dan salah menggunakan ekspresi budaya mereka dan untuk berbagi manfaat dari penggunaan komersial karena itu, termasuk hak untuk menegosiasikan persyaratan penggunaan tersebut. Dalam kata-kata ahli adat Henrietta Fourmille, (Pusat Sejarah Adat dan seni, Universitas Australia Barat), inti masalah dari perspektif adat bahwa "Informasi yang dikumpulkan tentang kami sama sekali tidak dimiliki oleh kami." Ada kasus lain di mana rekaman karya seni tradisional, dan latihan hak IP dalam rekaman itu, terbukti cara yang paling efektif untuk melindungi karya asli dari penggunaan yang tidak sah. Sebagai contoh, di Australia pada tahun 1997, t-shirt mulai muncul di pasar menggambarkan gambar dari lukisan batu asli ditemukan di daerah Deaf Added Creek. Gambar-gambar seni batu, sementara kuno, masih sangat penting bagi kehidupan adat Australia dan kebiasaan. Seniman asli tidak dikenal. Dan seni batu sudah sangat tua karena hak cipta akan berakhir. Jadi kelompok kustodian pribumi tidak memiliki obat yang dilindungi hak cipta terhadap t-shirt manufaktur. Namun, gambar dan foto-foto gambar seni batu telah diterbitkan dalam sebuah penelitian oleh peneliti yang didanai oleh Australian Institute Aboriginal Studies, Eric Brandl, pada tahun 1973, sehingga menciptakan hak cipta baru. Dari publikasi ini ternyata produksi t-shirt rupanya telah menyalin gambar. Dengan bantuan dari Lembaga dan keluarga Brandl, kelompok adat bisa mendapatkan perusahaan t-shirt untuk menghentikan produksi, mengklaim pelanggaran hak cipta dalam gambar Brandl dan foto. Peran museum, arsip dan perpustakaan Banyak lembaga dan badan profesional sedang mengembangkan protokol etika dan kebijakan untuk melengkapi hukum dan lebih menjawab kebutuhan adat. Secara praktis, beberapa isu yang dapat dibahas lebih lanjut mungkin mencakup: 1.Museum memegang hak IP dalam koleksi: a) Bagaimana seorang manajer museum, latihan dan lisensi hak-hak (seperti hak cipta dan hak terkait di foto, rekaman suara dan salinan digital) dapat signifikan. Dimana museum menghibahkan akses ke materi sehingga mereka dapat menyalin, atau lisensi 'kepada pihak eksternal untuk menghasilkan suatu produk derivatif seperti kalender atau rekaman suara, museum harus memastikan, misalnya, pengakuan yang tepat dari sumber masyarakat, bahwa bahan yang digunakan dalam cara menghormati komunitas-komunitas nilai-nilai budaya, dan komunitas berbagi manfaat yang timbul dari penggunaan bahan tersebut; b) Ditugaskan atau bahkan berbagi hak IP mungkin fasilitas masyarakat berdasarkan perkembangan proyek-proyek pembangunan yang berbasis di mana masyarakat bisa melaksanakan hak membela diri untuk mencegah penyalahgunaan ekspresi budaya atau positif untuk mencegah penyalahgunakan ekspresi budaya atau eksploitasi positif mereka. Ketepatan Manajemen hak IP, dikombinasikan dengan tindakan perlindungan seperti alat-alat teknologi enkripsi, mungkin memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi langsung dalam mengatur akses ke bahan-bahan budaya, terutama untuk bahan suci dan rahasia, sesuai dengan nilai-nilai yang lazim; c) harus atau bisakah museum bermain dalam meningkatkan kesadaran di antara sumber masyarakat sebagai IP dan kepentingan mereka yang terkait IP. 2. Selanjutnya, untuk tujuan keluar atau yang lebih baru dan muncul sistem sui generis perlindungan ekspresi budaya tradisional dan pengetahuan: a) Mungkinkah persediaan, database dan katalog yang didirikan oleh museum, arsip, dan perpustakaan menjadi sumber informasi yang bermanfaat, misalnya, mengidentifikasi penerima manfaat perlindungan tersebut, memberikan informasi tentang sistem hukum adat yang berlaku dan lembaga-lembaga dan / atau membantu mengidentifikasi penggunaan bahan tradisional yang mungkin dianggap sebagai budaya menyinggung masyarakat yang bersangkutan (ini tidak berarti bahwa museum akan bertindak sebagai penengah atau mediator dalam perselisihan, tapi lebih karena catatan mereka, katalog dan dokumentasi mungkin menjadi sumber informasi yang bermanfaat bagi mereka yang memang harus membacasandi pada isu-isu tersebut, terutama jika catatan tersebut dikompilasi dengan kemungkinan ini dalam pikiran); b) Dalam hal perlindungan ekspresi budaya tradisional tergantung pada hal yang terdaftar dengan beberapa atau kantor lainnya, bisakah museum dan arsip sendiri bertindak sebagai pendaftar tersebut dan membantu dalam pengelolaan hak-hak yang relevan? Ini tentu saja ide-ide awal yang hanya untuk diskusi dan membutuhkan lebih banyak pemikiran. Proyek WIPO WIPO melaksanakan proyek untuk memenuhi kebutuhan yang banyak diungkapkan untuk informasi teknis dan berbagi pengalaman dalam masalah ini. Langkah pertama dalam proyek ini adalah koleksi dalam database yang dapat diakses publik dari panduan, kode etik, protokol dan perjanjian standar yang digunakan oleh museum, arsip, perpustakaan, dan peneliti dari seluruh dunia. Database bisa berfungsi sebagai sumber daya untuk mereka yang tertarik untuk belajar budaya lembaga-lembaga, asosiasi dan peneliti yang menangani isu-isu IP seperti rekaman mereka, katalog, persediaan, penyebarkan, hadir dan kembali menggunakan bahan budaya. Koleksi bahan empiris dan praktik saat ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk penyulingan praktik IP terbaik yang berhubungan dan mengembangkan daftar IP yang diperiksa terkait, pedoman dan kesepakatan model untuk museum, arsip, perpustakaan, dan peneliti. Jika akan ada bunga di antara museum, langkah berikutnya lebih lanjut bisa menyusunan panduan hak cipta untuk museum dan lembaga-lembaga seperti lainnya. Pekerjaan tersebut tentu membutuhkan keterlibatan aktif dari semua pemangku kepentingan: museum dan lembaga lainnya; penelitian, masyarakat adat; badan profesional; pengacara IP, untuk hanya beberapa nama. Sumber daya tersebut dapat memberi manfaat bagi lembaga dalam membangun persediaan dari warisan budaya tak berwujud, sebagaimana yang disediakan sesuai dengan yang baru saja diadopsi UNESCO Convention on Safeguarding Intangible Cultural Heritage. The UN Permanent Forum on Indigenous Issues telah merekomendasikan perkembangan dari jenis sumber daya. Penutup Memperjelas isu IP yang relevan dan pilihan, bersama dengan museum, arsip, komunitas dan stakeholder lainnya, bisa berkontribusi untuk mewujudkan janji mempromosikan kreativitas dan pembangunan ekonomi, museum dan layanan arsip, kemajuan ilmu pengetahuan dan ilmiah dan kesempatan pendidikan. Keterlibatan instansi terkait dan badan-badan profesional adalah kuncinya. Diharapkan bahwa ICOM-ICME akan berpartisipasi dalam pekerjaan ini dan memberikan kontribusi besar keahlian dan pengalaman.